Oleh: Fajar Riza Ul Haq
Tiga hari sebelum otopsi jenazah Siyono dilakukan PP Muhammadiyah bersama Komnas HAM, penulis bertemu dan mendapat konfirmasi dari Ketua PW Muhammadiyah Jawa Tengah bahwa warga asal Klaten itu tidak dikenal di Muhammadiyah.
Lalu, kenapa Muhammadiyah membela seseorang yang diduga bagian dari jaringan terorisme?
Langkah pembelaan yang sangat tak populis mengingat pemerintah sedang gencar memaksimalkan agenda pemberantasan terorisme setelah serangan teror di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Januari lalu.
Risikonya, tak sedikit kalangan salah memahami posisi dan kepentingan Muhammadiyah. Tidak terkecuali kepolisian. Nada sumbang pun tak terhindari.
”Selain untuk merawat nilai- nilai kemanusiaan, kami berkepentingan agar hukum ditegakkan. Muhammadiyah memandang kasus ini harus diungkap. Hukum harus ditegakkan. Muhammadiyah (sendiri) sudah lama memandang terorisme dan kekerasan atas nama agama merupakan sesuatu yang merusak kehidupan,” begitu jawab Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam satu wawancara dengan wartawan.
Tampaknya, perkembangan advokasi Muhammadiyah terhadap kasus ini mendorong Panitia Khusus (Pansus) RUU Anti Terorisme melakukan perubahan fokus pada rancangan yang diajukan pemerintah tersebut.
Kini, Pansus RUU Anti Terorisme lebih memandang urgen untuk memperkuat aspek perlindungan dan penegakan hak asasi manusia terduga teroris dan korban.
Penekanan aspek ini akan disertai pembatasan kewenangan aparat penegak hukum dalam menindak terorisme (Kompas, 21/4).
Pada sisi lain, peristiwa teror Thamrin dan kasus kematian Siyono semakin memperkuat relevansi proposal penyusunan Fikih Anti Terorisme yang digagas Maarif Institute sejak Desember silam.
Rangkaian diskusi kelompok terfokus pun sudah dilakukan pada akhir Februari dan Maret lalu dengan melibatkan ulama dan para pakar lintas disiplin yang menekuni kajian terorisme.
Puncaknya adalah perhelatan ”Halaqoh Penyusunan Buku Fikih Antiterorisme” pada 3-5 Mei 2016 di Semarang, hasil kolaborasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah dan Maarif Institute.
Haedar Nashir dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan hadir dalam pembukaan pertemuan selama tiga hari tersebut.
Proposal ini bertujuan merumuskan perspektif Islam Indonesia mengenai persoalan terorisme dan pelbagai isu turunannya dalam rangka memastikan terpenuhinya maqashid syariat (tujuan puncak syariah) dan hak asasi manusia dengan berangkat dari tantangan terorisme di Indonesia dan dinamika globalnya.
Arah kerjanya akan mencakup pembacaan ulang secara kritis definisi terorisme dalam perspektif Islam, menggali pandangan Al Quran dan hadis mengenai terorisme dengan menyegarkan kembali pandangan para ulama serta pengkajian kembali konsep-konsep kunci keagamaan yang selama ini disalahpahami dan disalahgunakan oleh kelompok-kelompok berideologi teror, seperti irhab (teror), takfir (sesat), qital (perang), unuf (kekerasan), bughat (pemberontak), baiat, hijrah, dan khilafah.