JAKARTA, KOMPAS.com — Mencuatnya kasus seorang siswi SMP di Bengkulu berinisial YN (14 tahun) yang diperkosa dan dibunuh dalam perjalanan pulang sekolah menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia harus mengakomodasi pendidikan seksual komprehensif kepada anak sejak dini.
Sejumlah elemen masyarakat pun bereaksi dan meminta institusi pendidikan mengimplementasikan pendidikan seksual kepada anak.
Tidak hanya sekolah, orangtua pun dinilai memiliki tanggung jawab yang sama besarnya dalam mengawasi perkembangan seksualitas anak.
Namun, tidak sedikit pula orangtua yang bingung, bagaimana caranya memberikan pemahaman mengenai seksualitas yang baik terhadap anak.
Aquino Hayunta, salah satu orangtua yang memiliki perhatian terhadap isu kekerasan anak di Komunitas Pasukan Jarik, mengatakan bahwa pendidikan seksual itu harus mulai diajarkan di sekolah-sekolah dan lingkup keluarga.
Menurut Aquino, memberikan pendidikan seksual yang baik itu salah satunya dengan cara ilmiah. Orangtua jangan merasa terbelenggu dengan kata tabu.
Para orangtua, kata Aquino, bisa mulai dengan mengajarkan penyebutan alat kelamin dengan kata penis atau vagina, bukan dengan kata ganti lain.
"Orangtua banyak dibatasi oleh kata tabu. Mulai saja dengan menyebut alat kelamin dengan kata penis atau vagina. Bukan dengan kata ganti lain, misalnya 'burung'," ujar Aquino saat ditemui di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (3/5/2016).
Lebih lanjut, dia menjelaskan, orangtua juga harus mengajari anak bahwa manusia adalah makhluk seksual.
Pertumbuhan seksual dibicarakan dengan baik, misalnya saat anak remaja mulai menstruasi atau ketika anak laki-laki mulai mimpi basah.
Orangtua pun harus fokus pada persoalan biologis dan ekspresi seksual, misalnya saat anak mulai memperlihatkan ketertarikan terhadap lawan jenisnya.
"Kebanyakan orangtua melarang anaknya pacaran. Seharusnya bukan melarang, melainkan menerangkan konsekuensi dari pacaran. Semua harus dibicarakan," ucapnya.
Selain itu, dia pun mengatakan ada proses yang kurang tepat terjadi di lingkup keluarga.
Selama ini, umumnya pembicaraan di keluarga selalu fokus pada anak perempuan, bagaimana mengajari anak perempuan tidak boleh keluar malam dan harus pakai baju yang tertutup.
Sementara itu, jarang sekali anak laki-laki diajarkan untuk bagaimana caranya bersikap terhadap sesamanya, terutama anak perempuan.