JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch meminta penegak hukum waspada adanya kemungkinan politik uang dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar.
Pasalnya, setiap calon ketua umum wajib menyetor uang Rp 1 miliar sebagaimana tertera dalam persyaratan.
"Penegak hukum sebaiknya pasang 'alarm' dalam konteks Munas Golkar karena sejumlah kandidat itu penyelenggara negara," ujar Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Emerson Yuntho di Jakarta, Minggu (1/5/2016).
Emerson mengatakan, misalnya ada uang mengalir dari atau ke salah satu calon ketua umum yang merupakan penyelenggara negara, maka harus diproses secara hukum oleh Polri atau KPK.
(baca: Munaslub Golkar, Kongres Demokrat, dan "Hujan" Duit...)
"Pasang radar saja untuk mengawasi dan terlibat dalam proses munas parpol," kata Emerson.
Munaslub Partai Golkar akan dilaksanakan pada 23 Mei 2016 di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC).
Sejumlah nama yang digadang-gadang menjadi kandidat caketum Partai Golkar yaitu Idrus Marham, Mahyudin, Setya Novanto, Priyo Budi Santoso, Ade Komarudin, dan Aziz Syamsuddin.
(baca: Politik Uang di Munaslub Golkar Diprediksi Tetap Terjadi)
Syarat setoran Rp 1 miliar bagi masing-masing calon diputuskan dalam rapat pleno Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar di Kantor DPP Golkar di kawasan Slipi, Jakarta Barat, Kamis (28/4/2016).
Penyelenggara munaslub mengaku ingin agar pemilihan ketum baru nantinya berjalan bersih. Mereka membuka wacana akan melibatkan Badan Intelijen Negara, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Polri.
BIN, menurut Ketua Komite Etik Munaslub Fadel Muhammad, bersedia dilibatkan untuk mengawasi jalannya munaslub.
Namun, Ketua KPK Agus Rahardjo menolak dilibatkan ketika dihubungi Fadel. Alasan yang disampaikan, belum ada kerugian negara dalam penyelenggaraan.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief sebelumnya mengatakan, pihaknya tidak akan terlibat dalam Munaslub Golkar karena hal itu merupakan urusan partai.
Menurut Laode, KPK tidak memiliki wewenang untuk ikut terlibat dalam urusan internal partai politik. Meski demikian, KPK berharap, tidak ada praktik politik uang.
Apakah "hujan" uang akan mengguyur di bawah pohon beringin? Sebaiknya siapkan "payung" agar tak berurusan dengan KPK nantinya.