JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, ketentuan pasal dalam undang-undang tentang partai politik tidak efektif mengatur sumber pendanaan keuangan parpol.
Undang-Undang Partai Politik (UU No 2/2008) dan perubahannya (UU No 2/2011) menyebut tiga sumber keuangan partai politik: iuran anggota, sumbangan individu dan badan usaha, serta bantuan negara.
Bantuan negara berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk partai tingkat nasional dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk partai tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Menurut Donal, dalam praktiknya saat ini, sumber dana terbesar bagi parpol berasal dari pihak lain di luar partai. Bantuan itu biasanya hanya berasal dari satu orang dengan jumlah sumbangan besar.
Donal menyatakan, jumlah tersebut tidak tercatat dalam pembukuan keuangan partai.
"Saat ini yang terjadi the power of money, bukan the power of many. Pembiayaan parpol tidak berasal dari masyarakat banyak, melainkan pembiayaan tunggal," ujar Donal saat dihubungi, Sabtu (30/4/2016).
Ia menyebutkan, saat ini banyak parpol yang didukung oleh segelintir konglomerat dengan jumlah sumbangan sangat besar.
Sebagai imbalannya, mereka mendapat kompensasi berupa berupa kekuasaan atau ruang yang memungkinkan mereka untuk memengaruhi kebijakan ketua partai politik.
Dengan demikian, kebijakan ketua partai bisa diarahkan sesuai dengan keinginan kelompok-kelompok tertentu.
Jika praktik seperti ini terjadi, maka hal itu akan membahayakan proses pengambilan kebijakan di tingkat pemerintah. Sebab, kebijakan fraksi di parlemen juga dipengaruhi oleh kebijakan ketua partai.
"Karena itu saya melihat saat ini partai politik tidak jauh berbeda dengan perusahaan," kata Donal.
Idealnya, pembiayaan operasional partai politik bersumber dari banyak orang (masyarakat) dengan jumlah sumbangan yang relatif kecil, misalnya Rp 50.000 per orang. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, maka model pembiayaan harus diubah.