JAKARTA, KOMPAS.com - Draf Revisi Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih menuai protes dari kalangan masyarakat sipil, pemerhati hukum, dan kebijakan.
Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting mengatakan bahwa perspektif dalam RUU baru ini cenderung diarahkan hanya pada upaya penindakan dengan mencantumkan pasal-pasal karet.
Miko menilai RUU tersebut memiliki pendekatan penindakan di luar hukum.
Dia menyebut, pemerintah justru mengguanakan pendekatan perang seperti yang diterapkan oleh Amerika Serikat pasca peristiwa serangan teroris 9/11 di gedung World Trade Center.
Oleh karena itu, kata Miko, RUU anti-teror tidak mengakomodasi prinsip-prinsp hak asasi manusia dan prinsip akuntabilitas.
"RUU ini memiliki pendekatan di luar hukum. Materi yang diatur lebih condong pada pendekatan perang seperti di Amerika. Indonesia menggunakan pendekatan yang sama," ujar Miko saat jumpa pers di kantor Kontras, Jumat (29/4/2016).
(Baca: Ini Sejumlah Perhatian Pemerintah dalam Revisi UU Antiterorisme)
Lebih lanjut, Miko menjelaskan, di dalam UU anti-teror, tindak pidana terorisme dikategorikan sebagai tindak pidana, maka pendekatan yang diterapkan harus sesuai dengan koridor penegakan hukum pidana.
Namun, Miko berpendapat, RUU yang sekarang dibahas justru tidak sesuai dengan koridor hukum. Dia mencontohkan, pasal mengenai kewenangan penangakapan terduga teroris yang bertentangan dengan KUHAP.
RUU tersebut memberikan kewenangan bagi penyidik untuk melakukan penangkapan kepada terduga teroris dalam waktu 30 hari. Sedangkan dalam KUHAP masa penangkapan ditetapkan 1 hari.
(Baca: Tak Jadi Solusi, Hukuman Mati Diminta Dihapus dalam RUU Anti-Terorisme)
Selain itu, nomenklatur hukum di Indonesia tidak mengenal status hukum terduga. KUHAP mengatur penangkapan dan penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Di samping itu, Miko juga menyoroti pasal yang memberikan kewenangan penegak hukum untuk menempatkan seorang terduga di tempat tertentun yang tidak diketahui selama 6 bulan.
"RUU ini jauh dari perspektif hukum, akuntabilitas dan perlindungan HAM. Seharusnya upaya pemberantasan juga harus pro yustisia," ungkapnya.
(Baca: Pasal “Guantanamo” di RUU Antiterorisme Penuh Kontroversi)
Di samping itu, Miko juga menyoroti soal pembahasan RUU yang belum melibatkan partisipasi publik. Menurut Miko, pembuat UU memiliki kewajiban untuk menginformasikan segala sesuatu mengenai pembahasan RUU di parlemen.
"Soal pembahasan, publik belum dilibatkan secara aktif, karena pengemban RUU ini kan masyarakat. Pembahasan RUU anti teror selama ini terkesan tertutup," ujar Miko.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.