Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heru Margianto
Managing Editor Kompas.com

Wartawan Kompas.com. Meminati isu-isu politik dan keberagaman. Penikmat bintang-bintang di langit malam. 

Pak Luhut dan Pak Sintong, Korban 1965 Bukan soal Angka melainkan soal Manusia

Kompas.com - 27/04/2016, 13:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

KOMPAS.com — Sekitar 20 tahun lalu, pada sebuah malam di sebuah warung pecel lele di pinggir Jakarta, seorang sahabat bercerita dengan terbata-bata.

Air mata mengembang di pelupuk matanya. Ibunya ditemukan tergantung di kusen pintu kamar. Sebuah kain melilit di lehernya.

"Ibu gue bunuh diri," dia berkata pelan.

Peristiwa 20-an tahun lalu itu menyeruak di benak saya hari-hari belakangan ini saat mendengar pernyataan Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan yang mengatakan bahwa negara tidak terpikir untuk meminta maaf atas peristiwa 1965. Juga, saya terusik oleh pernyataan Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan yang menantang publik untuk membuktikan soal kuburan massal.

Hadir kembali dalam ingatan saya, wajah teman yang kulai tertunduk malam itu. Kedua tangannya memegang gelas teh manis yang tidak lagi panas. Ia terdiam sesaat lalu terisak sambil menarik napas panjang.

"Kami menduga, ibu tak tahan terus berbohong menyimpan masa lalunya. Gue hanya cerita rahasia keluarga gue ini ke elo." Ia menengadahkan wajahnya dan menatap saya. Air mata yang tadi menggenang di tepi pelupuk jatuh membentuk sungai kecil di pipinya.

"Ibu gue anak PKI. Gue keturunan PKI," katanya lirih.

Saya terdiam. Terbayang di benak saya, wajah ibu sahabat saya itu, seorang perempuan yang sangat santun. Ia selalu menawarkan makan tiap kali saya bertandang ke rumah teman saya itu.

Ibu teman saya itu adalah guru agama di sebuah sekolah dasar negeri. Selama bertahun-tahun, ia menyimpan rapat masa lalu keluarganya demi mendapatkan kehidupan dan perlakuan yang wajar. Terlebih lagi, ia adalah seorang pegawai negeri.

Litsus

Beberapa hari sebelum peristiwa pilu itu terjadi, kata teman saya, ibunya bercerita bahwa di sekolah sedang ada litsus. Ibunya terlihat resah.

Litsus atau penelitian khusus adalah momok yang amat menakutkan bagi mereka yang keluarganya tersangkut paut dengan PKI pada tahun 1965.

Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 16 Tahun 1990 tentang Penelitian Khusus bagi Pegawai Negeri Republik Indonesia.

Setelah 25 tahun peristiwa 1965, Soeharto ingin "membersihkan" semua instansi pemerintah dari segala sesuatu yang disebutnya anasir PKI.

Kepres itu berisi perintah penelisikan apakah seorang pegawai negeri tersangkut paut atau tidak dalam gerakan PKI tahun 1965. Mereka yang diindikasikan terlibat kemudian digolongkan atau diklasifikasikan keterlibatannya.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Terkini Lainnya

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com