KOMPAS.com — Sekitar 20 tahun lalu, pada sebuah malam di sebuah warung pecel lele di pinggir Jakarta, seorang sahabat bercerita dengan terbata-bata.
Air mata mengembang di pelupuk matanya. Ibunya ditemukan tergantung di kusen pintu kamar. Sebuah kain melilit di lehernya.
"Ibu gue bunuh diri," dia berkata pelan.
Peristiwa 20-an tahun lalu itu menyeruak di benak saya hari-hari belakangan ini saat mendengar pernyataan Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan yang mengatakan bahwa negara tidak terpikir untuk meminta maaf atas peristiwa 1965. Juga, saya terusik oleh pernyataan Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan yang menantang publik untuk membuktikan soal kuburan massal.
Hadir kembali dalam ingatan saya, wajah teman yang kulai tertunduk malam itu. Kedua tangannya memegang gelas teh manis yang tidak lagi panas. Ia terdiam sesaat lalu terisak sambil menarik napas panjang.
"Kami menduga, ibu tak tahan terus berbohong menyimpan masa lalunya. Gue hanya cerita rahasia keluarga gue ini ke elo." Ia menengadahkan wajahnya dan menatap saya. Air mata yang tadi menggenang di tepi pelupuk jatuh membentuk sungai kecil di pipinya.
"Ibu gue anak PKI. Gue keturunan PKI," katanya lirih.
Saya terdiam. Terbayang di benak saya, wajah ibu sahabat saya itu, seorang perempuan yang sangat santun. Ia selalu menawarkan makan tiap kali saya bertandang ke rumah teman saya itu.
Ibu teman saya itu adalah guru agama di sebuah sekolah dasar negeri. Selama bertahun-tahun, ia menyimpan rapat masa lalu keluarganya demi mendapatkan kehidupan dan perlakuan yang wajar. Terlebih lagi, ia adalah seorang pegawai negeri.
Litsus
Beberapa hari sebelum peristiwa pilu itu terjadi, kata teman saya, ibunya bercerita bahwa di sekolah sedang ada litsus. Ibunya terlihat resah.
Litsus atau penelitian khusus adalah momok yang amat menakutkan bagi mereka yang keluarganya tersangkut paut dengan PKI pada tahun 1965.
Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 16 Tahun 1990 tentang Penelitian Khusus bagi Pegawai Negeri Republik Indonesia.
Setelah 25 tahun peristiwa 1965, Soeharto ingin "membersihkan" semua instansi pemerintah dari segala sesuatu yang disebutnya anasir PKI.
Kepres itu berisi perintah penelisikan apakah seorang pegawai negeri tersangkut paut atau tidak dalam gerakan PKI tahun 1965. Mereka yang diindikasikan terlibat kemudian digolongkan atau diklasifikasikan keterlibatannya.