Pemasyarakatan, di awal kemunculan konsepnya, secara ontologis memandang kejahatan sebagai fakta sosial yang tidak semata terjadi karena seseorang memiliki sifat jahat.
Kejahatan bukanlah sebuah kualitas individu, namun sebuah kondisi saat seseorang tertinggal atau ditinggalkan dalam kompleksitas kehidupan dan penghidupan. Dengan kata lain, kejahatan terjadi karena kegagalan sosialisasi, disorganisasi sosial, dan adanya tekanan struktural (seperti kemiskinan).
Ada unsur tanggung jawab sosial dalam terjadinya kejahatan. Meskipun dinilai tidak kontekstual dalam konteks extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), namun bukan tidak bisa digunakan sama sekali sebagai sebuah cara pandang dalam pembinaan.
Hal inilah yang membuat mengapa di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 dijelaskan, tujuan menghukum pelaku kejahatan (pembinaan narapidana) adalah reintegrasi sosial.
Oleh karena kejahatan adalah konflik antara pelaku dengan masyarakat, maka tujuan pembinaan adalah menciptakan kembali kesatuan kehidupan antara keduanya serta melakukan restorasi sosial.
Ini pula yang membuat mengapa pemasyarakatan adalah sebuah sistem. Lembaga Pemasyarakatan sebagai pelaksana pidana hanyalah satu bagian dari sistem pemasyarakatan.
Upaya reintegrasi dan restorasi juga dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) dalam proses yang dikenal dengan pembebasan bersyarat. Bahkan Bapas dan Rutan telah berperan di dalam pre-adjudikasi dan adjudikasi.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana nasib pemasyarakatan Indonesia saat ini dan ke depannya? Akan kemana pemasyarakatan Indonesia?
Kedua pertanyaan ini penting adanya. Bagaimana tidak, begitu banyak permasalahan sepertinya menemui jalan buntu.
Beberapa pekan terakhir ini, beberapa lembaga pemasyarakatan (lapas) rusuh. Sejumlah oknum petugas dan pejabat terlibat dalam pelanggaran berat, berdagang atau memfasilitasi perdagangan narkotika di dalam lapas.
Melampaui kapasitas
Banyak lapas yang jumlah narapidana dan tahanan melampaui kapasitas tampung. Perbandingan jumlah petugas dengan narapidana dan tahanan adalah 1 : 45, bahkan bisa lebih buruk bila dihitung dengan yang hanya bertugas untuk penjagaan.
Permasalahan ini dapat dilihat dalam dua sisi analisis, yaitu dari sisi teknis pelaksanaan pemasyarakatan dan sisi makro struktural. Pada sisi teknis, narapidana dan tahanan yang sudah berjumlah lebih dari 180.000 (data Maret 2016) menjadi masalah utama.
Hal ini berdampak pada sulitnya memenuhi hak dan perlakuan sesuai standar minimal. Pada sisi teknis, sejumlah pelanggaran seperti perkelahian, pemilikan alat komunikasi hingga perdagangan narkotika, tidak lepas dari lemahnya pengawasan.