KOMPAS.com - Belum lama ini berita pelajar sekolah dasar tewas setelah menabrak mobil di Kabupatan Bogor, Jawa Barat, menjadi sorotan pemberitaan. Sebelumnya, di Lampung, kematian remaja dalam kecelakaan lalu lintas juga jadi berita ramai. Dua peristiwa itu sama-sama melibatkan “cengtri”. Apa itu?
“Cengtri” adalah bahasa prokem untuk menyebut tiga orang berboncengan menggunakan satu sepeda motor. Kecelakaan di Bogor terjadi pada Rabu (30/3/2016), dengan tiga anak SD berboncengan di satu sepeda motor menabrak mobil yang sudah memberi lampu tanda belok.
Adapun kecelakaan di Lampung terjadi pada Rabu (13/5/2015). Lagi-lagi, tiga remaja yang berboncengan menggunakan satu sepeda motor berusaha mendahului truk pengangkut besi, tetapi entah kenapa justru menabrak truk itu.
Menurut data Korps Lalu Lintas (Korlantas) pada periode Januari hingga Juli 2015 ada 45.844 kecelakaan kendaraan bermotor. Dari semua kecelakaan itu, 11.076 orang tewas, 11.203 luka berat, dan 51.267 luka ringan.
Fenomena “cengtri” terselip di sana-sini. Bicara peraturan perundangan, “cengtri” jelas tidak diizinkan.
"Motor itu hanya cukup dua orang dan barang bawaan (atau beban) juga tidak bisa berlebihan," ujar Direktur Lalu-lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Royke Lumowa seperti dikutip oleh Kompas.com, Kamis (4/8/2011).
Bahkan, "cengtri" bisa terkena pidana. Merujuk Pasal 292 jo Pasal 106 ayat 9 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, "cengtri" masuk tindakan pidana dengan ancaman penjara maksimal satu bulan atau denda Rp 250.000.
Peran orang tua
Pelanggaran penggunaan sepeda motor terutama oleh kalangan remaja, setidaknya didukung antara lain oleh faktor keluarga, lingkungan sekolah, dan remaja itu sendiri. Peran orang tualah yang seharusnya paling vital.
Sebaliknya, pelanggaran justru kerap terjadi dari kelonggaran di rumah. Misalnya, orang tua membiarkan bahkan menyuruh anak mengendarai kendaraan bermotor sebelum usianya memenuhi persyaratan memiliki surat izin mengemudi.
Keprihatinan soal perilaku buruk berlalu lintas bahkan telah menjadi sorotan Presiden Federasi Otomobil Internasional (FIA) Jean Todt. ”Keselamatan di jalan raya dimulai dari kewaspadaan diri sendiri," ujar Todt, seperti dikutip harian Kompas, Jumat (26/2/2016).
Terlebih lagi, pelanggaran peraturan lalu lintas—termasuk "cengtri"—bisa menggugurkan penjaminan asuransi ketika kecelakaan terjadi. Gugurnya penjaminan itu diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan UU 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas.
Merujuk kedua UU itu, Jasa Raharja—sebagai perusahaan negara yang mengelola asuransi untuk kecelakaan lalu lintas—tidak akan menanggung asuransi kecelakaan akibat kelalaian sendiri atau kecelakaan tunggal. Asuransi kecelakaan tersebut hanya menanggung kecelakaan karena tabrakan antar-kendaraan.
Berdasarkan kedua peraturan perundangan tersebut, korban kecelakaan lalu lintas, baik di darat, laut, maupun udara, dapat menerima sejumlah dana penjaminan Jasa Raharja bila terjadi kecelakaan dalam perjalanan.
Rinciannya, korban meninggal dunia akibat kecelakaan di darat dan laut mendapat santunan Rp 25 juta, sedangkan dari kecelakaan udara Rp 50 juta. Adapun untuk korban luka, ada penjaminan Rp 10 juta untuk kecelakaan di darat dan laut, serta Rp 25 juta untuk kecelakaan udara.
Nah, jangan sampai gara-gara seru-seruan “cengtri” malah kecelakaan, sudah begitu tak mendapat penjaminan asuransi pula. Ingat, keluarga menunggu di rumah.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.