JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Presiden Jusuf Kalla yakin korupsi dan kekuasaan selalu punya benang merah. Bagi Kalla, korupsi dan kekuasaan punya keterkaitan yang kuat, begitu erat.
"Sebenarnya kalau kita bicara korupsi, tentu korupsi itu ya bicara kekuasaan," ujar Kalla di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (22/4/2016).
Ia mengungkapkan, ada kekuatan dari kekuasaan yang selalu menjadi celah bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Kewenangan, itu yang Kalla maksudkan.
Selama ini tutur Kalla, para pemegang kekuasaan kerap kali menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Di situ lah ucap dia, kewenangannya justru menjadi komoditas.
"Kalau Anda tidak punya kewenangan, ya Anda tidak bisa korup. Karena yang diperdagangkan ialah kewenangan," kata Wapres.
"Kalau wartawan mau korupsi, korupsi apa? Anda tidak punya kewenangan memutuskan orang mendapat apa, atau meringankan apa-apa," tuturnya.
Dulu dan kini
Kalla bukan politikus kemarin sore. Tokoh yang usianya akan genap 74 tahun pada 15 Mei 2016 itu sudah kenyang makan asam garam kekuasaan.
Pada 1982, ia sudah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Fraksi Golongan Karya. Bahkan, pada 1965 silam, ia sudah menjadi Anggota DPRD Sulawesi Selatan dari Golkar.
Pengalaman politiknya itu memberikannya pengetahuan sehingga mampu melihat fenomena dari berbagai sudut pandang.
Kalla melihat masa kini dengan kacamata masa silam, atau sebaliknya, melihat masa silam dengan kacamata masa kini. Begitu pula soal korupsi dan kekuasaan.
"Saya kira (korupsi dan kekuasaan dulu dan sekarang) sama saja," kata Kalla.
Namun ia tak bergeming dengan waktu. Era reformasi telah membawa keterbukaan informasi yang sangat gamblang. Jauh dibandingkan era Orde Baru.
"(Hanya saja) dulu tidak terbuka. Sekarang terbuka, ada KPK, ada semua media yang tebuka. Kalau ada orang kena tangkap (suap) live di mana-mana," ucap Mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Makassar 1965 itu.
Era keterbukaan informasi itu telah mengubah masyakarat Indonesia menjadi masyarakat yang melek politik dan melek hukum. Namun, di era yang serba terbuka ini pula, keganasan kekuasaan dinilai masih belum bisa dijinakkan.
Kewenangan masih menjadi komoditas yang kerap diperdagangkan. Bahkan, ucap Kalla, celah korupsi bisa semakin lebar sebab jumlah anggaran pemerintah yang tersedia kini begitu besar. Kira-kira, sepuluh kali lipat dari Orde Baru.
"Tapi memang itu (yang korupsi) orang tinggi. Ada 9 menteri contohnya, ada 19 gubernur, ada ratusan bupati, ada 40 anggota DPR, ratusan anggota DPRD, memang banyak," ujarnya.
Dalam sejumlah kesempatan, Wapres selalu menekankan pentingnya peran penegak hukum dalam memberantas korupsi. Baik itu, KPK, Polri, dan Kejaksaan.
Meski begitu, ia juga kerap mengingatkan pengawasan terhadap pejabat negara dan anggaran negara tak boleh dilupakan. Sebab, dari situlah upaya pencegahan tindak pidana korupsi bisa dilakukan.