JAKARTA, KOMPAS.com - Kehidupan Maria Katarina Sumarsih berubah sejak "Jumat Kelabu" pada 13 November 1998.
Hari itu, anaknya yang bernama Bernardus Realino Norma Irmawan (Wawan), mahasiswa Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya Jakarta, tertembak di halaman kampusnya oleh aparat keamanan yang sedang melakukan pengamanan demonstasi mahasiswa.
Demonstrasi besar-besaran tersebut terjadi karena mahasiswa menolak Sidang Istimewa yang dinilai inkonstitusional, menuntut dihapusnya dwifungsi ABRI dan meminta Presiden BJ Habibie untuk segera mengatasi krisis ekonomi.
Menurut penuturan Sumarsih yang diperoleh dari beberapa saksi mata, Wawan tertembak ketika mencoba menolong seorang mahasiswa yang terluka. Saat demonstrasi, Wawan memang sedang bertugas sebagai Tim Relawan Kemanusiaan (TRK).
Pasca-peristiwa yang dikenal dengan Tragedi Semanggi I itu, Sumarsih aktif turun ke jalan, melakukan advokasi bersama eleman mahasiswa dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia.
Bersama keluarga korban yang lain, tidak jarang Sumarsih ikut merasakan panasnya aspal jalanan, berorasi tanpa pernah mengeluh lelah.
"Saya merasakan hidup saya tergelincir ke tengah kekerasan politik," tutur Sumarsih dalam diskusi "Perempuan Melawan Arus" yang diselenggarakan oleh Penerbit Buku Kompas, di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (14/4/2016).
Sudah berbagai macam upaya ia lakukan agar kasus tertembaknya Wawan dibawa ke meja pengadilan. Dari audiensi hingga demonstasi.
Mulai dari pertemuan dengan Komnas HAM, Kejaksan Agung, hingga Presiden. Namun, semua itu belum juga membuahkan kepastian hukum dari Pemerintah.
Pada 18 Januari 2007, Sumarsih dan keluarga korban pelanggaran HAM yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menginisiasi sebuah aksi diam yang disebut aksi Kamisan.
Setiap Kamis sore, mereka berdiri diam sambil memegang payung berwarna hitam di seberang Istana Negara. Berharap Presiden bisa melihat apa yang menjadi tuntutan mereka, penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.
"Kekerasan tidak bisa dihadapi dengan kekerasan. Setiap hari Kamis itu hanya berdiri diam. Ketika diam bukan berarti kalah, diam kami tetap menyuarakan penegakan hukum," ucap Sumarsih.
Hampir sepuluh tahun berlalu sejak aksi Kamisan pertama digelar. Sudah banyak banyak keluarga korban yang lelah dan memilih menyerah dengan melanjutkan kehidupannya seperti biasa.
(Baca: Mulai Pekan Depan, Aksi Kamisan Dilarang Dilakukan di Depan Istana)
Namun, Sumarsih memilih untuk terus melakukan aksi Kamisan, meski kepolisian pernah melarang dengan alasan tidak boleh ada aksi penyampaian pendapat sepanjang 100 meter dari Istana Negara.
Bagi Sumarsih, apa yang sudah dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM sesuai undang-undang pengadilan HAM harus terpenuhi.
(Baca: Sumarsih Akan Terus Aksi Kamisan Meski Jokowi Usulkan Rekonsiliasi)
"Kenapa saya bertahan? Karena sebagai seorang Ibu, saya merasa penembakan Wawan itu melekat erat dalam diri saya. Saya yang melahirkan, membesarkan dan merawat Wawan," ucap Sumarsih.