JAKARTA, KOMPAS.com - Penyidik Kejaksaan Agung kembali memanggil CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi dalam restitusi pajak PT Mobile 8.
Rencananya, pemeriksaan akan dilakukan hari ini, Senin (11/4/2016).
"Iya, diperiksa lagi," ujar pengacara Hary, Hotman Paris melalui pesan singkat, Minggu (10/4/2016) malam.
Hotman mengatakan, dia dan kliennya akan tiba di gedung bundar Kejaksaan Agung sekitar pukul 13.30 WIB.
Sebenarnya Hary dipanggil penyidik pada 6 April 2016. Namun, ia berhalangan hadir karena sedang berada di luar kota dan minta pemeriksaannya diundur hari ini.
Jika nantinya Hary hadir, maka ini merupakan pemeriksaan kedua mantan Komisaris PT Mobile 8 itu. Sebelumnya ia pernah diperiksa penyidik pada 17 Maret 2016.
Namun, dari sejumlah pertanyaan yang diajukan, Hary lebih banyak menjawab lupa dan tidak tahu.
(Baca juga: Ada Instruksi Pencairan Uang dalam Kasus Mobile 8, Hary Tanoe Akan Dipanggil Kejagung)
Oleh karena itu, untuk pemeriksaan besok, penyidik ingin mengkonfirmasi kesaksian dari Direktur Utama PT Mobile 8, Hidayat, mengenai instruksi pencairan uang.
"Ada beberapa instruksi, laporan, dari HT kepada Hidayat. Instruksi terkait pencairan uang dan pendistribusian uang," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah.
Kejaksaan Agung menemukan transaksi fiktif yang dilakukan dengan PT Jaya Nusantara pada rentang 2007-2009.
Pada periode 2007-2009 yang lalu, PT Mobile 8 melakukan pengadaan ponsel berikut pulsa dengan nilai transaksi Rp 80 miliar.
PT Djaya Nusantara Komunikasi ditunjuk sebagai distributor pengadaan. Ternyata, PT Djaya Nusantara Komunikasi dianggap tak mampu membeli barang dalam jumlah itu.
Akhirnya, Kejaksaan menilai transaksi direkayasa seolah-olah terjadi perdagangan dengan membuatkan invoice sebagai fakturnya.
Pada pertengahan 2008, PT Djaya Nusantara Komunikasi menerima faktur pajak dari PT Mobile 8 dengan total nilai sekitar Rp 114 miliar. Faktur pajak itu diterbitkan agar seolah-olah terjadi transaksi pada dua perusahaan.
Faktur pajak itu kemudian digunakan PT Mobile 8 untuk mengajukan kelebihan pembayaran (restitusi pajak) kepada negara melalui KPP di Surabaya agar perusahaannya masuk bursa Jakarta pada 2009.
PT Mobile 8 akhirnya menerima pembayaran restitusi meski tidak berhak karena tidak ada transaksi. Akibatnya, diduga negara mengalami kerugian sebesar Rp 10 miliar.