Alkisah ada seorang petani yang hidup bersahaja namun bahagia bersama istri dan anak-anaknya. Mereka memiliki makanan yang cukup, bisa berpakaian layak, dan tinggal di rumah yang sederhana tetapi nyaman dan penuh kehangatan.
Suatu hari, saat mencangkul di sawah, petani itu menemukan sebuah guci di dalam tanah. Guci itu ternyata berisi keping-keping uang emas. Dia segera membawa harta itu pulang dan menunjukkan pada istrinya.
Keduanya lalu menghitung emas itu, dan mendapati ada 99 keping uang emas. Petani itu memandang istrinya dan berkata, “Mengapa hanya ada 99 keping ya? Mestinya ada 100 keping.”
Istrinya mengiyakan dan mereka berdua kemudian sepakat akan mencari keping ke-100. Seharian mereka mencari di sawah dan di tempat-tempat yang diduga menjadi tempat tercecernya satu keping itu. Namun hasilnya nihil.
Sang suami kemudian bertekad menggenapi keping itu agar menjadi 100. Dia pun bekerja lebih keras dan berhemat agar bisa menukarkan uangnya dengan sekeping koin emas. Mereka mengurangi jatah makan sehari-hari, dan tidak lagi membeli pakaian baru. Semua dilakukan demi memiliki keping emas ke-100.
Namun usahanya tak kunjung mendapat hasil. Alih-alih mendapat emas, kondisi keluarganya malah menjadi buruk. Anak-anak mereka kurang makan, baju yang dikenakan lusuh, dan tiada lagi canda tawa karena si petani sibuk mencari keping terakhirnya. Yang ada di pikirannya hanyalah menggenapi keping-keping emasnya.
Dalam kondisi penasaran seperti itu, muncul niat tak terpuji di benak petani. Ia memutuskan mencuri untuk mendapatkan emasnya.
Namun akhirnya, petani itu tertangkap dan dihadapkan pada raja. Sambil menangis dia berkata pada raja bahwa ia mencuri untuk mendapatkan satu keping koin emas.
Raja tertegun sejenak, lalu bertanya, “Apakah kamu menemukan guci berisi 99 keping emas?”
“Ya,” jawab petani.
“Ketahuilah, guci itu diletakkan di sana oleh iblis untuk menggoda manusia. Iblis tahu bahwa kita tidak pernah puas. Karenanya dia memasang umpan agar kita jatuh pada keserakahan,” kata raja.
Mendengar sabda raja itu, menyesallah si petani. Ia teringat anak-anak dan istrinya yang kini kurus dan telah ia abaikan. Ia teringat hidupnya dahulu yang bahagia. Kini harta justru membuatnya merasa miskin dan tidak pernah cukup.
Petani itu pun berjanji untuk kembali pada kehidupannya semula. Mensyukuri apa yang dia miliki dan tak lagi tergoda oleh keserakahan.
Cerita di atas saya baca bertahun-tahun lalu dalam sebuah buku. Cerita itu tiba-tiba terlintas lagi saat saya membaca berita beberapa hari ini.
Ada seorang anggota DPRD yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus suap dalam proyek reklamasi teluk Jakarta. Mereka yang diduga sebagai penyuap juga ditangkap dan dicegah. (Baca: Sanusi Ditangkap KPK)