JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Direktur PT Grand Indonesia Tesa Natalia Hartono kembali mangkir dari panggilan penyidik Kejaksaan Agung.
Sedianya ia diperiksa sebagai saksi dalam perkara dugaan tindak pidana terkait kontrak dengan PT Hotel Indonesia Natour (PT HIN) yang menyebabkan kerugian negara.
"Saksi Tesa Natalia Hartono tidak hadir memenuhi panggilan penyidik tanpa keterangan," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Amir Yanto, Kamis (31/3/2016).
Sebelumnya, Kejagung pernah menjadwalkan pemeriksaan untuk Tesa. Namun, ia tidak menjawab panggilan itu tanpa memberikan keterangan.
Hari ini, Kejagung juga memanggil Direktur Utama PT Bank Central Asia. Namun, kedatangannya digantikan oleh Subur Tan selaku Direktur Hukum PT Bank Central Asia.
Penyidik membutuhkan pemeriksaan terhadap PT BCA untuk meminta informasi soal kronologis hingga terjadinya perjanjian sewa pada gedung perkantoran menara BCA dengan PT Grand Indonesia selaku pengelola.
"Termasuk besarnya harga sewa, penggunaan nama BCA pada gedung perkantoran tersebut serta hal-hal lainnya yang diketahui oleh saksi yang menyangkut ada atau tidaknya perjanjian BOT," kata Amir.
General Manager Operasional Apartemen Kempinski Residence, Tombak Suhendro telah hadir memenuhi panggilan penyidik. Pemeriksaan Tombak terkait dengan kronologi pengelolaan Apartemen Kempinski Residence.
Ditanyakan pula soal pembagian keuntungan dalam pengelolaan untuk PT Grand Indonesia serta hal lainnya yang diketahui oleh Tombak menyangkut ada atau tidaknya perjanjian BOT atas keberadaan Apartemen Kempinski.
Dalam perkara ini, terjadi pembangunan gedung di luar kontrak antara PT Hotel Indonesia Natour dengan PT Grand Indonesia. Dalam kontrak, disepakati pembangunan dua mal, satu hotel, dan satu lahan parkir.
Beberapa tahun kemudian, dibangun Menara BCA dan Apartemen Kempinski. Menurut Kejaksaan, pembangunan dua bangunan itu tidak tertera dalam kontrak dan tak pernah dibahas dalam negosiasi.
Masalah kontrak antara PT Hotel Indonesia Natour dengan PT Grand Indonesia ini diduga merugikan BUMN tersebut sebesar Rp 1,2 triliun.
Sementara itu, PT GI mengklaim tak ada yang salah dengan perjanjian Build, Operate and Transfer (BOT) yang dilakukan dengan PT HIN.
Bahkan, pihak PT HIN menyebut pemerintah melalui Hotel Indonesia Natour sebenarnya sangat diuntungkan dengan skema kerja sama BOT.
Ini lantaran tidak keluar uang sepeser pun dan langsung menerima uang atau kompensasi atas pemanfaatan kawasan yang ada di area Hotel Indonesia.
Di akhir kerja sama, pemerintah juga telah memiliki gedung yang memiliki nilai bisnis tinggi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.