Ia melakukan penelitian di Yogyakarta pada Oktober 2015 hingga Januari 2016. Yogyakarta dipilih karena Tadzkia menilai, ada penurunan tingkat toleransi beragama di kota tersebut.
Pada penelitian yang didukung oleh Maarif Fellowship itu, Tadzkia berpendapat bahwa munculnya gerakan-gerakan radikal berbasis keagamaan juga ditimbulkan karena laju pembangunan tidak menyentuh masyarakat.
Pada tahun 2009 dan 2011, Yogyakarta mendapatkan predikat kota nyaman untuk ditinggali dari Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia.
Namun, sejak tahun 2012 mulai masif pembangunan mal, apartemen, dan hotel.
Dalam kurun waktu 2007-2014, Pemerintah Yogyakarta memang menitikberatkan pembangunan pada sektor pariwisata.
Pembangunan ini untuk mendukung keberlanjutan pembangunan pariwisata.
Pada tahun 2014, ada 71 hotel berbintang dan 1.067 hotel kelas melati. Jumlah wisatawan pun terus meningkat.
Tercatat, pada tahun 2014, ada 3 juta wisatawan domestik maupun luar negeri yang datang ke Yogyakarta.
Akibat dari pembangunan yang massif itu, Yogyakarta mengalami krisis air bersih, kerusakan lingkungan, kemacetan, ketimpangan ekonomi, dan ketersediaan rumah layak huni bagi masyarakat juga kurang.
"Jumlah pembangunan hotel berbintang hanya terpusat di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman," ujar Tadzkia saat mempresentasikan hasil penelitiannnya bertajuk 'Yogyakara Berhenti Nyaman: Menggugat Pembangunan Ekonomi atas Eksistensi Gerakan Islam Radikal' di Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (16/3/2016).
Pada saat yang sama, lanjut dia, kasus-kasus intoleransi berbasis keagamaan juga meningkat, seperti demonstrasi pembubaran kegiatan kelompok minoritas.
Menurut Tadzkia, pembangunan yang berdampak buruk juga menyebabkan keresahan kelompok masyarakat.
Hal ini menjadikan agama sebagai sarana untuk melawan kondisi yang tidak adil tersebut.
Berdasarkan wawancara yang dilakukannya, kata Tadzkia, Dewan Syuro dari Front Jihad Islam, Ustad Haris, mengatakan, pembangunan telah menggusur rakyat kecil yang sebenarnya adalah aset.
Menurut dia, peredaran minum keras dan perbuatan maksiat menjamur di Yogyakarta.
Sementara itu, Ketua FJI Abdurrahman memandang bahwa pembangunan tidak merepresentasikan kepentingan masyarakat, tetapi membawa dampak buruk dan menjauhkan masyarakat dari norma agama.
Masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam pembanguanan.
"Karena itu ada jurang antara kelompok mereka dengan pemerintah dan kota mereka sendiri," kata Tadzkia.
Hal Inilah yang membuat mereka bergerak dengan bermuara pada gerakan ekstrimisme keagamaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.