Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revisi UU Pilkada Diminta Pertegas Sanksi Politik Uang

Kompas.com - 10/03/2016, 07:36 WIB
Indra Akuntono

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni mengatakan bahwa revisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada harus memuat sanksi tegas terhadap politik uang dan sengketa pasangan calon.

Saat ini, aturan mengenai dua masalah itu dianggap belum tegas dan sangat rumit.

Titi mengungkapkan, dalam pilkada serentak 2015 lalu terdapat 900 laporan dugaan terjadinya politik uang. Dari jumlah itu, hanya tiga kasus yang bisa menjadi pidana umum.

"Tapi tiga kasus itu juga terancam tidak bisa dilanjutkan. Harus diberikan ketegasan soal politik uang, mahar, suap," kata Titi, dalam program Satu Meja di Kompas TV, Rabu (9/3/2016) malam.

Selanjutnya, Titi juga mengusulkan agar penyelesaian sengketa pasangan calon dipermudah. Ia memandang terlalu rumit jika penyelesaian sengketa pasangan calon melalui panitia pengawas, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

(Baca: Mendagri Sebut Ada 15 Poin Revisi UU Pilkada)

"Sengketa calon ini paling banyak berkontribusi memberikan masalah karena terlalu banyak tangan yang terlibat," ungkapnya.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, draf revisi Undang-undang Pilkada sudah  selesai. Dia berharap, pembahasan revisi UU Pilkada akan selesai dibahas DPR paling lambat Agustus 2016. Kemungkinan pembahasan akan dimulai pertengahan Maret 2016.

Saat ini, kata Tjahjo, Kemendagri telah melakukan harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM soal regulasinya. Aspirasi semua pihak ditampung dan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.

Menurut Tjahjo, tak ada ganjalan selama proses penyusunan draf revisi. Jika belum ada kesamaan dengan DPR, masih ada waktu panjang untuk memperdebatkannya.

(Baca: Pertegas Sanksi bagi Pelaku Politik Uang)

Tjahjo mendorong revisi undang-undang ini bisa segera terwujud karena banyak aturan yang ada saat ini kurang mengikat, salah satunya mengenai sanksi.

Banyak ditemukan kasus kepala daerah yang baru terpilih mengganti bawahannya dengan orang-orang kepercayaannya yang belum tentu kapabel menduduki posisi tersebut. UU Pilkada belum mengatur soal itu.

Lainnya, masih ada pro kontra terkait Pegawai Negeri Sipil dan anggota DPR yang terpilih jadi kepala daerah.

"Secara prinsip kami akan lebih berhati-hati memperbaiki norma baru untuk pilkada serentak. Buat norma yang bisa dilaksanakan dengan baik," ucap Tjahjo.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam Atas Inisiatif Prabowo

Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam Atas Inisiatif Prabowo

Nasional
Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Nasional
Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Nasional
CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

Nasional
Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Nasional
Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Nasional
Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Nasional
Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Nasional
Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Nasional
Jelang Disidang Dewas KPK karena Masalah Etik, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Jelang Disidang Dewas KPK karena Masalah Etik, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Nasional
Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Nasional
PKB-Nasdem-PKS Isyaratkan Gabung Prabowo, Pengamat: Kini Parpol Selamatkan Diri Masing-masing

PKB-Nasdem-PKS Isyaratkan Gabung Prabowo, Pengamat: Kini Parpol Selamatkan Diri Masing-masing

Nasional
Saksi Sebut Dokumen Pemeriksaan Saat Penyelidikan di KPK Bocor ke SYL

Saksi Sebut Dokumen Pemeriksaan Saat Penyelidikan di KPK Bocor ke SYL

Nasional
Laporkan Albertina ke Dewas KPK, Nurul Ghufron Dinilai Sedang Menghambat Proses Hukum

Laporkan Albertina ke Dewas KPK, Nurul Ghufron Dinilai Sedang Menghambat Proses Hukum

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com