JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Direktur Perancangan Peraturan Perundang-Undangan di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Suhariyono AR menilai, dalam membentuk revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, seringkali yang banyak dipikirkan adalah dari aspek pelaku.
Sedangkan, saksi dan korban kerap dilupakan.
Pada umumnya, kata dia, proses pengadilan berpusat pada pelaku dengan berbagai peraturan untuk menjamin hak-hak terdakwa. Sedangkan perlindungan saksi dan korban seringkali lemah.
"Sebagai renungan, kelemahan kita semua pada saat mengatur suatu RUU terutama terkait penegakkan hukum, proses peradilan. Selalu kita lupa atau sering mengesampingkan saksi dan korban," ujar Suhariyono dalam acara diskusi di Jakarta, Selasa (8/3/2016).
Kedudukan korban atau saksi yang sering dilupakan, kata dia, juga terlihat dari tidak adanya pengertian yang memadai tentang korban dan kompensasi yang tercantum dalam regulasi tersebut.
Padahal, korban dan pelaku memiliki kedudukan yang sama.
"Oleh karena itu, pada saat DPR menyusun paling tidak perlu diusulkan ada definisi mengenai korban, keluarga korban, restitusi, rehabilitasi. Pasal 36 sampai 42 perlu ditelaah kembali," kata dia.
Senada dengan Suhariyono, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, definisi korban dalam UU Terorisme masih tak mencantumkan definisi hak korban terorisme secara spesifik.
Dalam UU tersebut juga tak jelas siapa pihak yang bertanggung jawab atas bantuan dan pembiayaan medis.
Bantuan terhadap korban terorisme disebut sebagai bantuan yang diberikan oleh negara.
Menurut Surpriyadi, dalam konstruktsi peratura Menteri Kesehatan sebetulnya telah diatur bahwa tanggung jawab korban terorisme ada pada Menkes.
Namun, masih tak jelas berapa yang mereka jamin hingga kapan bantuan dibayarkan.
Padahal, ia menilai hal ini merupakan yang paling krusial karena semua pihak menunggu siapa yang bertanggung jawab penuh atas pembiayaan darurat medis.
"Jadi enggak ada yang mengeksekusi, siapa yang bertanggung jawab membayar. Sehingga korban terlunta-lunta," ujar Supriyadi.
"Untung kalau yang bom di Sarinah, cepat bereaksi dan tiga rumah sakit yang siap. Tapi itu kan masih serangan kecil. Kalau seperti Mariott, Kuningan kan gede," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.