JAKARTA, KOMPAS.com - Adanya usulan mengenai pembentukan dewan pengawas dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dinilai sejumlah pihak akan melemahkan KPK.
Dosen Fakultas Hukum Unika Atmajaya Surya Tjandra menilai keberadaan dewan pengawas KPK sesungguhnya amat diperlukan.
Hanya saja, usulan yang diajukan selama ini terlalu ketat, karena turut mencampuri urusan KPK hingga ke masalah operasional.
"Tercampur-campur isunya. Walaupun, esensinya dewan pengawas itu butuh, sebagai mekanisme kontrol internal," kata Surya di Kampus Atma Jaya, Jakarta, Senin (7/3/2016).
Saat ini, lanjut dia, meski memiliki komite etik namun sifatnya hanya sementara dan tak permanen.
Menurut Surya, yang belum terpecahkan adalah bagaimana agar dewan pengawas tersebut tetap ada namun fungsinya tetap seimbang. Tak malah menumpulkan taring KPK.
"Balancing-nya di mana, ini yang belum ketemu," ujarnya.
Surya pun mengusulkan agar dewan etik lebih mengurusi hal-hal berbau politik dan mengurusi negosiasi politik.
Dewan pengawas ini nantinya diharapkan dapat mewakili KPK dalam melakukan negosiasi politik dengan pihak pemerintah dan DPR.
KPK, menurutnya harus tegas berdiri sebagai lembaga di bidang hukum namun juga harus memahami politik. Dewan etik lah yang kemudian dapat mengisi fungsi tersebut.
"Kan butuh dukungan politik untuk kerja-kerjanya. Kita musuhin banget semua penguasa itu juga enggak bisa," kata Surya.
Dewan pengawas nantinya diharapkan dapat diisi tokoh-tokoh yang punya kekuatan politik, memiliki keberanian untuk berbeda pendapat namun juga bijaksana.
Sikap bijaksana itu dinilai perlu untuk menghindari kegaduhan-kegaduhan tak produktif, seperti perang antara KPK dan Kepolisian.
"Kan problemnya kemarin-kemarin gaduh terus. Gaduhnya enggak produktif," ujarnya.
Adapun tokoh yang menurutnya pantas misalnya mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafi'i Ma'arif atau yang akrab disapa Buya Syafi'i.
"Misalnya Buya Syafi'i yang sudah enggak mikirin apa-apa. Jadi guru bangsa," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.