Salah satu substansi revisi yang mendapat sorotan adalah keberadaan dewan pengawas bagi KPK dalam menjalankan setiap aktivitasnya. Dewan pengawas ini pula yang menerbitkan izin bagi KPK untuk melakukan penyadapan.
Menanggapi hal itu, Presiden Jokowi hanya memberikan tanggapan singkat. Jokowi pun lebih berbicara soal revisi UU KPK yang merupakan inisiatif DPR daripada substansi isi pasalnya.
"Itu masih dalam proses di sana (DPR), jangan ditanyakan kepada saya," ucap Presiden dalam siaran pers yang diterima dari Tim Komunikasi Presiden, Kamis (11/2/2016).
(Baca: Gerindra Gantungkan Harapan ke Jokowi untuk Menarik Diri dari Revisi UU KPK)
Dia kembali mengulang bahwa revisi UU KPK tidak boleh bersifat melemahkan, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.
"Tetapi, perlu saya sampaikan bahwa revisi UU KPK harus memperkuat KPK," kata Presiden.
Di dalam rapat Badan Legislasi pada Rabu (10/2/2016) lalu, sebanyak sembilan fraksi, yakni Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS, Fraksi Hanura, Fraksi Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi PPP, Fraksi Golkar, dan Fraksi PAN, menyetujui revisi tersebut.
(Baca: Independensi KPK Tergerus Dewan Pengawas)
Hanya Fraksi Partai Gerindra yang menolak revisi UU KPK karena menganggap substansi pasal yang ada di dalamnya cenderung melemahkan.
Belakangan, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstruksikan agar fraksinya di DPR untuk menolak revisi UU KPK.
Setidaknya, ada empat hal yang masuk dalam revisi UU KPK itu, yakni dibentuknya dewan pengawas, diaturnya mekanisme penyadapan, wewenang KPK dalam mengangkat penyidik, penyelidik serta penutut umum, dan wewenang penerbitan SP3.