JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Indonesian Institute for Development and Democracy, Arif Susanto, menilai bahwa revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jauh lebih mendesak ketimbang merevisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Arif berpendapat, jika mengacu pada temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang adanya hukuman kepada koruptor yang cenderung semakin rendah, maka ada urgensi merevisi UU Tipikor.
"Kalau upaya pemberantasan korupsi mau diperkuat, revisi Undang-Undang Tipikor jauh lebih mendesak," kata Arif di Gedung PGI, Salemba, Jakarta Pusat, Selasa (9/2/2016).
Menurut Arif, revisi UU Tipikor dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah poin. Misalnya, meningkatkan ancaman hukuman atau memperluas cakupan dari definisi korupsi itu sendiri.
Cakupan tersebut nantinya dapat menjelaskan bahwa korupsi tak hanya kegiatan merugikan keuangan negara, tetapi juga menyangkut problem ekologis.
Selain itu, dapat pula diatur mengenai penambahan hukuman seperti pencabutan hak-hak politik atau pemiskinan. "Hal-hal semacam itu lebih urgent," ujarnya.
Sebelumnya, ICW menganggap, besaran vonis terhadap terdakwa kasus korupsi semakin kecil. Untuk tahun 2015, rata-rata vonis yang dijatuhkan 2 tahun 2 bulan penjara. Sementara pada 2014, rata-rata vonis sebesar 2 tahun 8 bulan penjara. Peneliti ICW Aradila Caesar menganggap, vonis yang masuk kategori ringan itu tidak akan efektif menimbulkan efek jera.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.