Oleh: Asep Salahudin
JAKARTA, KOMPAS - Selalu bisa menemukan hal- hal baru ketika membaca karya-karya Mohammad Hatta. Ia tampil di pentas politik Nusantara pra- dan pasca kemerdekaan bukan sekadar seorang politikus, melainkan juga negarawan sekaligus pemikir yang piawai merumuskan gagasannya dengan dingin, mendalam, dan visioner.
Langkah politiknya seakan-akan dibimbing imajinasi kuat dan rasionalitas kukuh yang menjadi oksigen kehidupannya. Inilah barangkali yang jadi latar utama mengapa Bung Hatta kukuh memegang prinsip, kukuh memperjuangkan keyakinan, sekaligus berani mengambil pilihan hidup bersahaja. Tentu saja termasuk keputusannya menanggalkan jabatan prestisius, wakil presiden (1957), ketika dipandangnya Soekarno telah jauh menyimpang dari khitah bernegara yang diimpikannya, kekuasaan kian terkonsentrasi dalam genggaman satu orang, dan jabatan wakil presiden sekadar seremonial.
Jangan tanyakan tentang kecintaan Hatta terhadap Tanah Air. Justru dia sendiri yang mengusulkan untuk menggeser penamaan Hindia Belanda dengan Indonesia dalam sebuah rapat Indonesische Vereeniging di jantung pusat kolonial Belanda yang masih sangat berkuasa. Bukan sekadar usulan nama, melainkan di belakangnya terhampar iman kebangsaan yang membayangkan bahwa ketika "Indonesia" sudah menjadi kebutuhan bersama dalam proyek besar memperjuangkan kemerdekaan, maka hal ihwal yang berbau kedaerahan, etnisitas, dan isu sempit keagamaan harus lekas dikuburkan. Bagi Hatta, "Menamakan diri nasionalis Indonesia, tetapi pergaulan dan semangatnya masih amat terikat kepada daerah dan tempat ia dilahirkan?"
Bersekolah di negeri penjajah tidak membuatnya menjadi operator dan corong kepentingan kolonial, tetapi justru kian menumbuhkan sikap kritis. Senarai tulisannya dengan tajam menggugat Belanda, yang kemudian berujung pada penangkapan terhadapnya, lalu ia dibawa ke penjara di Casiusstraat, dan harus mempertanggungjawabkannya di meja Pengadilan Belanda (1927).
Pulang ke Indonesia dalam pengawalan ketat polisi rahasia (1932), justru ia seolah-olah menemukan tempat yang subur mengartikulasikan seluruh keresahan politisnya. Dihidupkannya PNI (Pendidikan Nasionalis Indonesia) bersama kawannya, Sutan Sjahrir. Lewat buku, kursus politik, brosur, dan majalah, diserukannya rakyat melawan kolonial, disuntikannya kepada massa agar berani sekaligus tegak lurus dengan kebenaran. Tentu semua itu bukan tanpa risiko, malah kemudian mengharuskan dirinya diasingkan ke Banda Neira (1936-1941).