JAKARTA, KOMPAS - Revolusi mental politik bagi negara ini memang sangat diperlukan. Referensi kolektif para penyelenggara negara kebanyakan diisi oleh konsep negara sebagai tempat mengeruk kekayaan. Saat yang sama, referensi kolektif masyarakat kebanyakan diisi oleh persepsi bahwa negara adalah predator yang menjadi beban dan harus dihindari. Karena itu, diperlukan perubahan paradigmatis di kalangan penyelenggara negara sekaligus dalam cara pandang masyarakat terhadap negara.
Awal Era Reformasi telah memberi jalan bagi perubahan itu. Melalui perubahan yang sifatnya sistemik, diawali dengan perubahan konstitusi, perubahan-perubahan fundamental dalam sistem politik negara telah berhasil dilakukan.
Kita berhasil melakukan desentralisasi kekuasaan baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal, kekuasaan tak lagi terpusat di tangan presiden, tetapi terdistribusi kepada cabang legislatif dan yudikatif, di samping eksekutif. Bahkan, secara tak resmi kekuasaan juga terdistribusi kepada masyarakat melalui media ataupun melalui kekuatan publik. Secara vertikal kita berhasil memberi kekuasaan kepada daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, bahkan dalam skala tertentu kepada tingkat desa.
Telah terjadi perubahan paradigmatis di tingkat sistem negara. Jalan membuat negara lebih melayani rakyat kini terbuka. Rakyat pun memiliki kesempatan aktif berpartisipasi menentukan nasib mereka melalui kebijakan-kebijakan pemerintahan. Media dan civil society dapat memantau dan mengkritik negara dan pemerintahan kapan saja dan di mana saja.
Namun, sistem yang sudah berubah ini belum dapat terlaksana sepenuhnya. Sistem harus dijalankan oleh manusia. Masalahnya, para penyelenggara negara di Era Reformasi sebagian besar berasal dari sistem lama. Sistem tidak atau belum diikuti dengan perubahan orang/penyelenggara. Akibatnya celah-celah yang lemah dalam sistem Era Reformasi menjadi arena yang dimanfaatkan penyelenggara negara yang masih bermental pengerat sumber daya negara. Tak heran kalau korupsi, misalnya, terasa makin marak dengan pelaku yang tampak tak memiliki rasa malu melakukannya.
Selain itu, ada dua kelemahan fundamental dari sistem di Era Reformasi. Pertama, birokrasi, umumnya bukan hanya masih diisi oleh orang dengan pola pikir lama, melainkan juga belum mengalami reformasi sistemik. Kedua, sebagaimana layaknya sistem demokrasi, reformasi memberi peran sentral kepada partai politik. Peran sentral ini tidak dibarengi dengan kesiapan kelembagaan dari partai- partai dalam menjalankan peran tersebut. Terjadilah pertemuan kepentingan birokrasi dan partai politik yang berujung pada pengerukan kekayaan negara secara lebih luas. Di sana sini masih kita temui penyalahgunaan kekuasaan/jabatan oleh para pejabat publik dan politisi.