Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lorong Waktu Bernama GBHN

Kompas.com - 26/01/2016, 17:00 WIB

Oleh: Ignas Kleden

JAKARTA, KOMPAS - Diskusi nasional tentang perlunya diberlakukan kembali GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) telah dipicu oleh pidato politik Ketua PDI-P Megawati Soekarnoputri dalam Rapat Kerja Nasional PDI-P, 10-12 Januari 2016, di Jakarta.

Rakernas itu bertema "Mewujudkan Trisakti melalui Pembangunan Nasional Semesta Berencana untuk Indonesia Raya". Meski Trisakti mengandung tiga tujuan (politik yang berdaulat, ekonomi yang mandiri, dan kebudayaan yang berkepribadian), usul Megawati tentang perlunya GBHN berhubungan langsung dengan kemandirian ekonomi dan kedaulatan politik.

Istilah "Pembangunan Nasional Semesta Berencana" berasal dari masa pemerintahan Presiden Soekarno, dan istilah "Garis-Garis Besar Haluan Negara" adalah warisan pemerintahan Presiden Soeharto. Mengapa PDI-P, khususnya Megawati, menggunakan istilah dari masa Presiden Soekarno sebagai tema Rakernas PDI-P 2016? Rupanya ada beberapa sebab yang tak hanya berhubungan dengan penggunaan bahasa, tetapi juga dengan kandungan kesadaran politik dalam penggunaan bahasa itu. GBHN adalah istilah teknokratis yang menunjukkan garis-garis besar haluan negara, dan bukannya tujuan dan prioritas pembangunan nasional yang melibatkan kegiatan negara dan kegiatan masyarakat. Dalam teori state and society, GBHN hanya menguraikan tugas negara (state), sementara masyarakat (society) diandaikan hanya mengikuti rencana yang ditetapkan negara.

Di pihak lain, istilah "Pembangunan Nasional Semesta Berencana" lebih weltanschaulich, lebih menonjolkan pandangan dunia yang jadi dasar pemikiran bahwa pembangunan nasional yang bersifat semesta melingkupi seluruh unsur bangsa yang ada dalam negara dan masyarakat, dalam pemerintah dan rakyat, menyangkut garis besar dan garis kecil, garis lurus atau garis melengkung, yang dapat dan harus direncanakan sebagai tahapan sejarah Indonesia Merdeka. Kata "semesta" juga menjadi peringatan bahwa tujuan pembangunan nasional tak hanya berkenaan dengan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mencakup berbagai aspek kehidupan lain dalam dinamika politik, evolusi sosial, dan kreativitas budaya. Sektor lain itu tak hanya bergantung pada pertumbuhan ekonomi, tetapi sekaligus jadi soko guru pembangunan ekonomi.

Tanpa mendalami kritik atas BUMN, yang menurut Megawati cenderung jadi business as usual dan melupakan tugasnya dalam pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945, gagasan Megawati tentang perlunya dihidupkan kembali GBHN patut ditinjau lebih cermat. Beberapa penulis sudah menekankan pentingnya suatu long-term design agar pembangunan tak jadi agenda kerja tiap presiden terpilih dengan fokus yang tak selalu sinambung dengan pembangunan sebelumnya. Pembangunan nasional seyogianya menjadi kontinuitas dalam rencana yang sambung-menyambung untuk mengejar suatu tujuan jangka panjang dengan fokus dan titik berat perhatian yang tak bergeser dari waktu ke waktu. Tujuan seperti itu layak didukung, tetapi juga harus memenuhi beberapa syarat yang tak selalu mudah.

Komunikasi dan apresiasi

Pertama, adanya komunikasi dan apresiasi di antara presiden terpilih dengan pendahulunya. Apakah seorang presiden terpilih bersedia melanjutkan yang sudah dicapai atau belum tercapai presiden sebelumnya, apalagi kalau keduanya berasal dari partai politik yang berbeda? Sebagai contoh, apakah Presiden Jokowi yang didukung PDI-P bersedia melanjutkan apa yang sudah dilakukan Presiden Yudhoyono dari Partai Demokrat? Persaingan di antara partai politik dapat menjadi kekangan bagi presiden terpilih untuk mengakui dan meneruskan prestasi presiden sebelumnya dan menyelesaikan agenda yang belum terlaksana. Sudah bukan rahasia lagi bahwa egoisme partai akan menyebabkan bahwa Partai A akan mempersulit presiden terpilih yang didukungnya mengakui dan mengapresiasi capaian seorang presiden pendahulu yang berasal atau didukung oleh Partai B.

Kedua, beberapa penulis lain sudah mewanti-wanti bahwa memberlakukan kembali GBHN akan berakibat pada beru- bahnya susunan ketatanegaraan, dan perubahan dalam tata negara mengharuskan perubahan undang-undang (UU). Dalam kasus ini, pemberlakuan kembali GBHN mengharuskan perubahan status politik MPR, yang menurut UU yang sekarang berlaku, mempunyai kedudukan setara dengan presiden. Kalau diberlakukan GBHN, presiden jadi mandataris MPR dengan kedudukan yang untergeordnet atau berada di bawah MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan pemberi mandat, dan MPR-lah yang akan menerima pertanggungan jawab pelaksanaan GBHN oleh presiden sebagai penerima mandat. Perubahan itu memerlukan amandemen UU yang memungkinkan dan mengesahkan perubahan tata negara itu.

Dalam rakernasnya , PDI-P mengusulkan suatu amandemen terbatas: terbatas pada pasal yang mengatur berlakunya GBHN, dan pasal tentang kedudukan MPR sebagai uebergeornet (posisinya di atas) dan presiden sebagai untergeornet (posisinya di bawah). Namun, menurut para ahli hukum, amandemen terbatas ini sukar dilaksanakan karena perubahan satu pasal dalam satu UU dapat mengharuskan perubahan pasal lain dalam UU lain.

Artikel Prof Ravik Karsidi dalam Kompas (19/1/2016) memperlihatkan berbagai perubahan UU yang terkait dengan pemberlakuan kembali GBHN. Perubahan harus dilakukan terhadap UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, UU MD3, dan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perubahan yang terkait ini akan membawa banyak kerja, debat, dan diskusi baru yang akan makan waktu dan tenaga serta menelan biaya yang tidak kecil. Meski demikian, patut ditekankan bahwa kecemasan tentang perubahan UU dan akibatnya terhadap UU lain lahir dari pertimbangan teknis hukum.

Hal lain yang patut dicemaskan adalah politisasi hukum berupa praktik yang menjadikan hukum sebagai alat suatu tujuan dan kepentingan politik praktis. Frekuensi amandemen yang terlalu sering dapat menimbulkan godaan menjadikan amandemen hanya sebagai instrumen hukum mencapai suatu tujuan dan kepentingan politik. Kepentingan jangka panjang dikorbankan demi jangka pendek.

Argumen untuk pemberlakuan kembali GBHN adalah perlunya kontinuitas pembangunan jangka panjang dengan fokus yang tetap. Akibat langsung dari berlakunya kembali GBHN adalah berkurangnya kekuasaan presiden dalam kedudukan sebagai mandataris MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan pemberi mandat kepada presiden. Masalahnya, seandainya rezim politik lain di kemudian hari menginginkan kekuasaan presiden yang lebih besar dengan kedudukan yang gleichgeordnet (setara) dengan MPR, apakah harus dilakukan lagi amandemen UU yang, seperti sudah diuraikan, punya berbagai keterkaitan yang kompleks dan meminta biaya yang tak sedikit? Terlihat di sini perlunya kriteria dan syarat yang lebih ketat untuk amandemen, yang harus diuji dalam debat publik, dan tak menyerahkannya begitu saja kepada voting di DPR.

Ketiga, patut dipertimbangkan konsekuensi dari sifat jangka panjang pembangunan nasional. Ahli ekonomi Inggris, John Maynard Keynes, membuat suatu pernyataan yang kini jadi "peribahasa" para ahli ekonomi. Katanya, in the long run we are all dead. Bagi kita, ini artinya semua mereka yang merencanakan pembangunan jangka panjang harus mempunyai kesungguhan dan ketulusan revolusioner karena pembangunan jangka panjang yang mereka rencanakan akan mencapai hasil akhir pada saat terbanyak dari mereka tak dapat menikmati hasilnya karena sudah meninggal dunia. Myanmar, misalnya, punya Rencana Pembangunan Nasional 60 Tahun. Mereka yang merencanakan pembangunan itu harus berusia di bawah 20 tahun untuk dapat menikmati hasilnya. Mereka yang berusia di atas 40 tahun harus ikhlas bahwa pada saat Pembangunan Nasional mencapai hasilnya, mereka sudah tidur tenang di pekuburan.

Mekanisme kejiwaan

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menjelang Putusan Sengketa Pilpres di MK, Kubu Ganjar-Mahfud Harap Tak Berakhir Antiklimaks

Menjelang Putusan Sengketa Pilpres di MK, Kubu Ganjar-Mahfud Harap Tak Berakhir Antiklimaks

Nasional
Optimistis MK Diskualifikasi Gibran, Kubu Anies: Tak Ada Alasan untuk Tidak Pemungutan Suara Ulang

Optimistis MK Diskualifikasi Gibran, Kubu Anies: Tak Ada Alasan untuk Tidak Pemungutan Suara Ulang

Nasional
MK Diperkirakan Tak Akan Diskualifikasi Prabowo-Gibran

MK Diperkirakan Tak Akan Diskualifikasi Prabowo-Gibran

Nasional
Jadwal Terbaru Pelaksanaan UTBK-SNBT 2024

Jadwal Terbaru Pelaksanaan UTBK-SNBT 2024

Nasional
Dana Zizwaf Selama Ramadhan 2024 Meningkat, Dompet Dhuafa: Kedermawanan Masyarakat Meningkat

Dana Zizwaf Selama Ramadhan 2024 Meningkat, Dompet Dhuafa: Kedermawanan Masyarakat Meningkat

Nasional
MK Diprediksi Bikin Kejutan, Perintahkan Pemungutan Suara Ulang di Sejumlah Daerah

MK Diprediksi Bikin Kejutan, Perintahkan Pemungutan Suara Ulang di Sejumlah Daerah

Nasional
Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Nasional
Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Nasional
TPN Ganjar-Mahfud Sebut 'Amicus Curiae' Bukan untuk Intervensi MK

TPN Ganjar-Mahfud Sebut "Amicus Curiae" Bukan untuk Intervensi MK

Nasional
Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Nasional
Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com