Rafendi menambahkan, setidaknya, ada tiga pelanggaran yang dilakukan pemerintah terhadap para anggota dan mantan anggota Gafatar itu. Pertama, kata Rafendi, adalah pelanggaran hak sosial ekonomi.
"Mereka, kelompok orang yang punya usaha, harta benda, dan keluarga yang secara nyata mengalami penghancuran," ujar Rafendi di kantor HRWG, Jakarta Pusat, Senin (25/1/2016).
(Baca: Para Pengungsi Eks Gafatar Belum Mau Terbuka)
Adapun pelanggaran kedua adalah pelanggaran hak berkeyakinan sesuai hati nurani. Hak tersebut, ujar dia, telah dijamin oleh konstitusi sehingga negara tak berhak untuk mencampuri persoalan beragama dan berorganisasi.
"Negara mempunyai peran untuk memfasilitasi agar semua agama bisa hidup rukun dan damai," ujarnya.
Sementara itu, pelanggaran ketiga, menurut dia, adalah pelanggaran hak kebebasan untuk bergerak dan mencari kehidupan.
(Baca: "Enggak Usah Ngomongin Masalah Gafatar, Kayak Ngomongin Orang Mati")
Semua anggota dan mantan anggota Gafatar, menurut Rafendi, seolah dilabeli sesat dan berbahaya bagi masyarakat.
"Jelas sekarang terjadi profiling. Memprofilkan seolah ini sesat dan membahayakan masyarakat. Padahal, tidak ada yang berbahaya," tutur Rafendi.
"Kalaupun ada masalah agama, itu harus diselesaikan di wilayah agama," katanya.
(Baca: Mantan Anggota Gafatar Stres dan Trauma, Merasa Diperlakukan seperti Teroris)
Ia berharap, pemerintah dapat mencari pemecah masalah yang tak melupakan HAM. Jangan sampai terjadi profiling dan eskalasi kekuasaan.
Selain itu, menurut dia, masyarakat juga perlu memahami bahwa apa yang dialami kelompok Gafatar bisa dialami oleh siapa pun jika kebiasaan di masyarakat kerap saling tunjuk bahwa kelompok lain adalah kelompok sesat dan sebagainya.