Catatan evaluasi ini bisa menjadi pedoman agar nantinya langkah dan kebijakan Pemerintah tidak mengarah pada tindakan represif.
Wakil Ketua Komnas HAM Roichatul Aswidah mengatakan, usaha pencegahan memang menjadi bagian terpenting dalam penanggulangan bahaya terorisme.
(Baca: Ini Poin Revisi UU Antiterorisme yang Diusulkan Pemerintah)
Namun, jangan sampai bertentangan dengan prinsip-prinsip hal asasi manusia (HAM) yang sudah diperjuangkan selama ini.
"Pemerintah seharusnya membuat kerangka informasi terlebih dulu, sebelum melakukan berbagai tindakan dan kebijakan. Bagaimana kita melihat penanganan kasusnya selama ini. Itulah yang seharusnya menjadi dasar perubahan," ujar Roichatul saat ditemui Kompas.com, di Jakarta, Kamis (21/1/2016).
Lebih lanjut, menurutnya, Kepolisian tetap menjadi tonggak penting dalam hal penanganan terorisme, sementara lembaga lain hanya bertindak sebagai pendukung.
Terkait wacana Kapolri yang meminta perpanjangan masa penahanan terduga teroris dalam proses pemeriksaan menjadi 30 hari, hal itu berpotensi melanggar hak-hak asasi.
(Baca: Kalla Pentingkan Efektivitas Penanganan Terorisme daripada Revisi UU)
Roichatul mempertanyakan apakah memang masa penahanan itu perlu ditambah atau ada cara lain yang lebih efektif.
"Jika masa penahanan ditambah resikonya melanggar prinsip-prinsip HAM. Sesuai prinsip HAM, seharusnya masa penahanan itu diperpendek bukan diperpanjang," kata dia.
"Harus dikurangi resiko seseorang berada di dalam kontrol aparat keamanan dan mengalami kekerasan," tambahnya.
Saat ini, Komisi Nasional HAM sedang melakukan kajian dan evaluasi terhadap UU 15/2003 untuk memberikan masukan kepada Pemerintah.
"Kami sedang memperlajari pada titik mana yang tidak efektif, pelaksanaannya atau UU-nya. Atau sejauh ini beberapa hal hanya perlu dimaksimalkan," ungkap Rochiatul.