JAKARTA, KOMPAS.com — Tepat sepekan lalu, ketenangan warga Jakarta terusik. Kawasan Sarinah, Jakarta, Kamis (14/1/2016), diserang sekelompok teroris. Kejadian ini mengingatkan kembali semua pihak atas bahaya terorisme.
Serangan diawali ledakan di kafe Starbucks pada pukul 10.39 WIB. Ahmad Muhazan bunuh diri. Sebelum meledakkan bom yang dilekatkan di tubuhnya, pelaku sempat berusaha memegang tangan Aldi Tardiansyah (17), petugas satpam kafe tersebut.
Aldi selamat setelah menghindar. Namun, ia terpental hingga 10 meter dan menghantam kaca di dalam Starbucks. Aldi dan pengunjung lainnya terluka. Sementara itu, tubuh pelaku hancur.
Ledakan itu merusak gerai. Asap putih tampak mengepul di sekitar lokasi ledakan.
Saat itu, kondisi arus lalu lintas di depan gerai Starbucks, Jalan MH Thamrin, baik dari arah Bundaran Hotel Indonesia ke Istana Negara, maupun sebaliknya, masih normal.
Selang 11 detik, ledakan kedua terjadi. Dian Juni Kurniadi, pelaku lainnya, menyerang pos polisi yang ada di dekat Gedung Sarinah. Dengan sepeda motor, Dian Juni membawa bom tabung.
Bom itu meledak di pos. Menurut polisi, bom itu memakai saklar yang dihidupkan. Dian Juni Kurniadi tewas dalam ledakan itu. Namun, polisi menganggap, ledakan itu bukan bom bunuh diri.
Naas, saat itu ada dua warga sipil, yakni Sugito (43) dan Rico Hermawan (22), serta seorang polisi, Ajun Inspektur Satu Deni. Sugito dan Rico tewas. Adapun Deni terluka parah.
Sugito adalah seorang kurir yang hendak mengirim barang. Saat itu, ia tengah berjalan kaki melewati pos polisi.
Adapun Rico ketika itu tengah ditilang polisi saat hendak mengantarkan sepupunya, Anggun Kartikasari (24), untuk menjalani wawancara pekerjaan. Anggun selamat.
Bom yang meledak di pos polisi berdaya ledak lebih besar dari sebelumnya. Karena itu, perhatian polisi fokus ke sana. Polisi yang berada di sekitar lokasi awalnya tidak menyadari ledakan di kafe Starbucks.
Pukul 10.44 WIB, polisi menutup Jalan MH Thamrin di dua arah. Empat menit kemudian, Sunakim alias Afif dan Muhamad Ali, teroris lainnya, muncul dari arah Starbucks atau dari kerumunan massa.
Keduanya membawa ransel yang belakangan diketahui berisi bom rakitan. Afif berjalan ke tengah dan langsung menembak ke arah polisi yang ada di lokasi. Timah panas juga melesat ke arah lain.
Dari kerumunan warga di dekat pos polisi, tampak seorang pria berbaju hitam tergeletak di jalan. Belakangan diketahui, pria itu Rais Karna (37). Ia tewas setelah sempat menjalani perawatan di rumah sakit. Rais tertembak di bagian kepala.
Adapun M Ali berlari ke area dalam Starbucks. Ia menembak dua warga negara asing, yaitu Amer Quali Tahar (WN Kanada) dan Yohanes Antonius Maria. Amer Quali Tahar tewas.
Tak lama kemudian, polisi berdatangan ke lokasi. Baku tembak terjadi. Pelaku bahkan sempat melempar granat rakitan. (Baca: Ini Kronologi Teror di Kawasan Sekitar Sarinah Berdasarkan Rekaman CCTV)
Singkat cerita, Afif dan M Ali tewas setelah terkena ledakan bom yang mereka bawa ditambah tembakan polisi. Ledakan dan tembakan dari polisi tersebut terekam kamera warga.
Setelah kondisi terkendali, polisi baru menyadari adanya serangan awal di gerai Starbucks.
Saat teror itu terjadi, Presiden Joko Widodo tengah melakukan kunjungan kerja ke Jawa Barat, yang kemudian jadwalnya dipercepat.
Adapun Wakil Presiden Jusuf Kalla tengah bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, dalam sidang terdakwa Jero Wacik.
ISIS
Pada hari yang sama, polisi menduga teror tersebut berkaitan dengan jaringan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Muhammad Bahrun Naim alias Anggih Tamtomo alias Abu Rayan dituding sebagai dalang serangan itu.
Bahrun Naim adalah eks narapidana kepemilikan senjata api dan bahan peledak. Ia ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri pada November 2010.
Barang bukti dalam penangkapan itu adalah 533 butir peluru senjata laras panjang dan 32 butir peluru kaliber 99 milimeter. Namun, dalam proses penyidikan kasus Naim, kepolisian tidak menemukan adanya keterkaitan Naim dengan tindakan terorisme.
Alhasil, pada persidangan di Pengadilan Negeri Surakarta, Jawa Tengah, 9 Juni 2011, majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun 6 bulan bagi Naim karena melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 tentang Kepemilikan Senjata Api dan Bahan Peledak.
Seusai menjalani hukuman, ia bebas sekitar Juni 2012. Menurut catatan Satuan Tugas Khusus Antiteror Polri, Naim diduga telah melakukan baiat atau menobatkan diri sebagai bagian dari ISIS pada 2014. Pada tahun yang sama, Naim menuju Suriah.
Polisi menyebut, kelompok ISIS mengirimkan sejumlah dana ke WNI di Indonesia. Pengiriman uang dari Suriah itu memakai jasa Western Union.
Pascateror, Densus 88 Anti Teror menangkap 13 orang di berbagai daerah. Delapan orang di antaranya diduga terkait teror di dekat Sarinah. Sisanya disangka terkait perkara lain, seperti kepemilikan senjata api ilegal.
Polisi masih terus mengembangkan penyidikan.
Payung hukum pencegahan
Presiden Jokowi memberi perhatian khusus atas serangan yang baru pertama terjadi pada era pemerintahannya. Pemerintah menyebut, intelijen sudah bekerja dengan baik sehingga menolak disebut kecolongan.
Sebelum serangan, pemerintah mengaku sudah mendapat informasi adanya rencana aksi kelompok teroris. Namun, aparat tidak mengetahui kapan dan di mana lokasi serangan akan dilakukan.
Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan mengakui sulitnya menduga pergerakan kelompok teroris. Pasalnya, pelaku teroris tidak menggunakan alat komunikasi, dan bergerak dalam kelompok-kelompok kecil.
Luhut bahkan menilai, pergerakan kelompok teroris lebih sulit diduga dibanding operasi militer.
"Intelijen secanggih apa pun akan sulit atau hampir tidak mungkin menduga pikiran orang dan pikiran hatinya," kata Luhut di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (15/1/2016).
Luhut mengungkapkan, intelijen berhasil mendapatkan informasi mengenai pergerakan kelompok Bahrun Naim sejak Desember 2015. Namun, aparat keamanan tidak menduga bahwa kelompok ini akan beraksi di dekat Sarinah.
Pemerintah menganggap, Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme perlu segera dilakukan. Revisi itu diharapkan dapat mencegah serangan terjadi kembali.
Polisi ingin fokus pada langkah pre-emptive serta preventif. Polisi merasa terhalang UU ketika hendak bergerak ketika mengetahui adanya ancaman.
Polri ingin ada kewenangan khusus untuk menyikapi mereka yang baru menyatakan diri bergabung ke kelompok radikal, berpidato menghasut, dan sejenisnya.
Menurut pengalaman selama ini, meski ada beberapa orang yang secara terbuka menyatakan diri mendukung ISIS, Polri dibatasi aturan sehingga sulit untuk melakukan penindakan.
Polri baru dapat menindak jika seseorang sudah melakukan aktivitas ke arah terorisme. Misalnya, saat seseorang ketahuan sedang membeli bahan peledak atau baru merencanakan aksi teror.
Di sisi lain, waktu antara persiapan dan eksekusi biasanya sangat singkat. Polisi merasa punya waktu yang sangat terbatas untuk mencegahnya.
Waktu penahanan sementara terhadap seseorang juga diharapkan bisa ditambah.
"Ini semata-mata demi upaya agar pencegahan bisa dilakukan secara maksimal. Namun, lagi-lagi, ini akan kami serahkan ke perumus undang-undang," ujar Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Charliyan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.