JAKARTA, KOMPAS - Hanya dalam hitungan hari sejak Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri melontarkan pemikiran dalam rakernas partai tentang dibutuhkannya kembali Garis-garis Besar Haluan Negara, muncul begitu banyak tanggapan terhadapnya.
Ada yang mengatakan tidak perlu. Ada yang menyimak dengan sikap kritis. Ada lagi yang mengingatkan perlunya ide tersebut dikelola dengan baik agar tak menjadi bola liar, dan menjadi alat tawar-menawar politik. Sekalipun begitu, banyak pula yang setuju dengan gagasan itu demi keberlanjutan gerak dan pencapaian sasaran, dan demi efisiensi sumber daya, penyelenggaraan negara ini dapat diberi tuntunan yang satu, sama untuk semua, dan berlaku baku. Usulnya juga jelas dan konkret: agar GBHN diadakan kembali.
Masalahnya, bagaimana mewujudkannya. Karena ketiadaan GBHN saat ini berawal dari peniadaan ketentuan dalam UUD, logikanya, ya, mesti mengembalikannya ke dalam UUD. Konsekuensi logika tadi, mengubah lagi UUD. Masalahnya bukan mungkin atau tak mungkin. Banyak yang malah mengantisipasi dengan pertanyaan: akan sesederhana itukah langkah yang diperlukan, atau seberapa besarkah kemampuan kita mengelola kerumitan yang diperkirakan akan mengikutinya?
Pengalaman kolektif bangsa ini, terutama sejak 10 tahun terakhir, menyediakan banyak alasan dan penjelasan yang dapat memberi pembenaran mengapa haluan penuntun bagi penyelenggaraan negara dan pembangunan itu perlu ada. Tiap awal siklus lima tahunan dirasa bagai awal baru kegiatan pembangunan, (seakan) dari nol, atau setidaknya dari platform yang berlainan. Tidak dirasa ada kesinambungan dan keberlanjutan antara satu dan sebelumnya. Namun, harus pula diakui, kebebasan pikir yang dihadirkan pasca reformasi juga menghadirkan penilaian berbeda atas pengalaman yang diperoleh.
Pemilihan presiden secara langsung memang memungkinkan calon presiden menawarkan janji berbeda dari presiden sebelumnya, atau bahkan berlainan dari yang telah dilakukannya sendiri lima tahun terakhir. Sesuai keyakinan dan pandangan politiknya, sebagai calon boleh menjanjikan masa depan, harapan, berikut prioritas dan cara pencapaiannya, sebagai rencana kerja dan program pembangunan yang akan dilaksanakan lima tahun ke depan. Bukankah kontes dalam pilpres tak lepas dari persaingan janji dan program?