Teror di kawasan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada Kamis (14/1/2016) pagi menegaskan kehadiran sel Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Indonesia. Insiden itu juga menegaskan, kelompok teroris Indonesia mengubah afiliasi mereka.
Salah satu pelaku dipastikan bernama Afif alias Sunakim, pemuda yang diketahui pernah tinggal di Karawang, Jawa Barat. Pria itu juga diketahui pernah dipenjara karena ikut pelatihan militer di Jalin Jantho, Aceh Besar.
Pelatihan itu dahulu dioperasikan orang-orang yang berafiliasi dengan Al Qaeda. Bahkan, beberapa pengelola dan penggagas, seperti Dulmatin, menyatakan diri sebagai pimpinan tanzim Al Qaeda Asia Tenggara.
Namun, aksi Afif dan kawan-kawannya tidak dinyatakan sebagai kegiatan Al Qaeda. Beberapa jam setelah teror bom Sarinah berakhir, NIIS mengklaim insiden itu aksi mereka.
Sejauh ini, klaim itu hanya berupa pengumuman tertulis yang tersebar di dunia maya. Belum ada pernyataan dalam bentuk suara untuk menguatkan pengumuman tertulis itu. Namun, di grup media mereka yang ada di Telegram, tampak jelas jika bom Sarinah memang dilakukan oleh kelompok NIIS.
Al Qaeda malah disebut-sebut pernah memberi tahu potensi teror oleh NIIS di Indonesia. Informasi itu dinyatakan beredar beberapa bulan lalu dan sudah didengar aparat keamanan Indonesia.
Dalam beberapa kesempatan, Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti menyebut akan ada "konser" oleh NIIS di Indonesia yang berskala internasional.
Kepala Badan Nasional Penanganan Terorisme (BNPT) Saud Usman Nasution juga menyebut hal serupa. Namun, tidak mudah memastikan kapan, di mana, dan oleh siapa "konser" akan dilakukan.
Polisi dan BNPT memantau sedikitnya 1.085 sel radikalis di Indonesia. Sebagian sudah ditangkapi di pengujung 2015. Kelompok Afif rupanya lolos dan akhirnya beraksi di jantung Jakarta.
Pecah dari induk
Polisi menyebut teror Sarinah sebagai aksi perebutan kepemimpinan NIIS di Asia Tenggara. Berbeda dengan klaim NIIS, sampai sekarang belum satu pun bukti ditunjukkan untuk menguatkan klaim polisi.
Termasuk klaim bahwa aksi Afif dan kawan-kawannya diarahkan Bahrun Naim, teroris yang pernah kuliah di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, dan pernah aktif di Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Hal yang sudah jelas, jaringan teroris Indonesia mengubah afiliasi mereka dari Al Qaeda ke NIIS. Seperti di Irak dan Suriah, para teroris di Indonesia awalnya bergabung dengan Al Qaeda.
NIIS memang awalnya tercatat sebagai sayap Al Qaeda di Irak. Setelah semakin kuat dan melebarkan sayap ke Suriah, NIIS menyatakan berpisah dari Al Qaeda. Bahkan, Al Qaeda kemudian menyatakan tidak sesuai dengan kekejaman yang dipraktikkan NIIS.
Perpecahan di Irak dan Suriah juga merembet ke Indonesia. Pada 2009, Aman Abdurrahman terlibat mendirikan dan mengoperasikan tempat pelatihan Jalin Jantho. Keterlibatan itu membuatnya divonis 10 tahun penjara dan kini menjalani hukuman di Nusakambangan, Cilacap.
Saat Aman divonis, sejumlah simpatisan Al Qaeda menyebut hukuman itu sebagai kezaliman. Meski dipenjara, Aman diketahui tidak kehilangan pengaruh. Bahkan, ia disebut menjadi pimpinan Jamaah Anshar Daulah Khilafah Nusantara. Kelompok itu kemudian disebut berafiliasi dengan NIIS.
Peralihan afiliasi Aman dan kelompoknya antara lain terdeteksi lewat komentar simpatisan Al Qaeda di Indonesia. Mereka menyebut Aman tidak pantas dipanggil sebagai ustaz dan tidak berakhlak baik.
Mereka juga mengecam pengultusan terhadap Aman. Orang-orang itu adalah orang yang pada 2010 memuji Aman dan mengecam vonisnya. Namun, pandangan berubah karena mereka tetap menjadi simpatisan Al Qaeda. Sementara Aman pindah haluan ke NIIS.
Artikel ini sebelumnya tayang di Kompas Siang edisi Sabtu (16/1/2016) dengan judul yang sama.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.