"Perppu ini dalam kondisi sekarang bisa diterima masyarakat penggunaannya dengan alasan kepentingan yang memaksa," ujar Martin melalui siaran persnya, Minggu (17/1/2016).
Martin mengatakan, revisi Undang-undang Terorisme sebenarnya telah lama diwacanakan. Bahkan, keinginan tersebut telah lama diminta oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Namun, DPR dianggap tidak pernah serius meresponsnya.
"Dalam Prolegnas Tahun 2015, revisi Undang-undang Teroris tidak masuk menjadi prioritas," kata Martin.
Setelah terjadinya peristiwa ledakan di kawasan Sarinah beberapa waktu lalu, baru muncul lagi wacana untuk merevisinya.
Martin menganggap, semestinya sejak awal revisi undang-undang ini masuk Prolegnas 2016. Meski belum ditetapkan oleh Badan Legislasi DPR, namun Martin pesimistis undang-undang ini akan cepat ditindaklanjuti.
"Sebab pengalaman tahun lalu menunjukkan kinerja DPR sangat buruk dalam bidang legislasi. Dari 40 RUU yang masuk Prolegnas 2015, hanya tiga yang berhasil dibuat," kata dia.
Martin mengatakan, jika Perppu dikeluarkan, maka DPR akan dikejar untuk segera membahasnya karena konstitusi telah membatasi waktu pembahasannya untuk bisa menerima atau tidak Perppu tersebut.
"Saya berharap Presiden tidak perlu ragu untuk mengeluarkan Perpu ini, asal isinya betul-betul dibicarakan secara mendalam oleh BNPT, Polri, TNI, BIN, Kumham dan sebagainya," kata Martin.
Terlebih lagi, undang-undang soal terorisme itu merupakan aturan yang disahkan dari Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri. Perppu tersebut sebagai respon terhadap bom bunuh diri pertama di Bali tahun 2002 lalu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.