Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MK Diminta Perhatikan Persoalan Substansi Selain Selisih Suara Pilkada

Kompas.com - 11/01/2016, 16:13 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Indonesian Institute for Development and Democracy, Arif Susanto, menilai Mahkamah Konstitusi (MK) terlalu konservatif dalam memaknai Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Pasal tersebut mengatur tentang batas selisih suara untuk pengajuan sengketa hasil pilkada ke MK.

Menurut Arif, sengketa hasil pilkada tidak hanya menyangkut kepentingan kompetitor. Hal itu juga terkait kepentingan seluruh rakyat Indonesia dan kualitas demokrasi Indonesia.

"MK tidak harus terikat pada tafsir konservatif dan tekstual terhadap apa yang dicantumkan terhadap UU Pilkada kalau itu dibutuhkan untuk menyelenggarakan demokrasi," kata Arif dalam sebuah acara diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (11/1/2016).

Arif juga menyinggung pernyataan Ketua MK Arief Hidayat beberapa waktu lalu bahwa dalam menangani perkara sengkera hasil pilkada, MK membatasi hanya pada selisih hasil suara dalam pilkada.

Menurut Arif, MK seolah hanya mengurusi angka tanpa memperhatikan asal-usul angka tersebut. Menurut dia, tidak mungkin hanya persoalan prosedur yang dipermasalahkan dan melupakan persoalan substansi.

"Saat ini MK sedang mereduksi persoalan menjadi semata-mata urusan sengketa hasil tanpa memperhatikan substansi," tutur Arif.

Sementara itu, Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow mengatakan, banyak kasus yang disengketakan ke MK, tetapi karakternya tidak termasuk sengketa hasil pilkada.

Ia mencontohkan kasus pilkada di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatra Utara, di mana ada dua pasangan calon yang diusung oleh partai politik yang sama.

Dua pasangan calon tersebut diusung oleh Partai Golkar dari kepengurusan yang berbeda, yaitu pengurus versi Munas Bali dan Munas Ancol.

Menurut Jeirry, seharusnya kedua pasangan calon tersebut tidak diperkenankan mengikuti pilkada serentak.

"Sejak awal saya katakan, Pilkada Humbahas ilegal. Satu partai mengusung dua paslon. Ini kan oleh undang-undang tidak boleh," kata Jeirry.

Ia meminta MK mempertimbangkan untuk mengusut kasus-kasus seperti itu dan tak serta-merta mengeliminasinya hanya karena tak memenuhi syarat selisih hasil suara.

"Dalam kasus ini, seharusnya MK menerima gugatan itu karena secara jelas yang bisa memerintahkan pilkada ulang hanya putusan MK," ujarnya.

Dalam Pasal 158 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2015 dijelaskan bahwa di provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan dua juta jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU provinsi.

Adapun provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta hingga 6 juta, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU provinsi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Presiden Jokowi Ucapkan Selamat saat Bertemu Prabowo Semalam

Presiden Jokowi Ucapkan Selamat saat Bertemu Prabowo Semalam

Nasional
Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Nasional
CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

Nasional
Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Nasional
Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Nasional
Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Nasional
Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Nasional
Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Nasional
Jelang Disidang Dewas KPK karena Masalah Etik, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Jelang Disidang Dewas KPK karena Masalah Etik, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Nasional
Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Nasional
PKB-Nasdem-PKS Isyaratkan Gabung Prabowo, Pengamat: Kini Parpol Selamatkan Diri Masing-masing

PKB-Nasdem-PKS Isyaratkan Gabung Prabowo, Pengamat: Kini Parpol Selamatkan Diri Masing-masing

Nasional
Saksi Sebut Dokumen Pemeriksaan Saat Penyelidikan di KPK Bocor ke SYL

Saksi Sebut Dokumen Pemeriksaan Saat Penyelidikan di KPK Bocor ke SYL

Nasional
Laporkan Albertina ke Dewas KPK, Nurul Ghufron Dinilai Sedang Menghambat Proses Hukum

Laporkan Albertina ke Dewas KPK, Nurul Ghufron Dinilai Sedang Menghambat Proses Hukum

Nasional
TKN Sebut Pemerintahan Prabowo Tetap Butuh Oposisi: Katanya PDI-P 'Happy' di Zaman SBY...

TKN Sebut Pemerintahan Prabowo Tetap Butuh Oposisi: Katanya PDI-P "Happy" di Zaman SBY...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com