Pasalnya, Koordinator Koalisi 18+, Supriyadi Widodo Eddyono menuturkan, perkawinan anak adalah salah satu modus kekerasan seksual pada anak yang paling tidak tersentuh.
Ia memaparkan, berdasarkan data Komnas Perempuan, selama tahun 2013 terjadi 263.285 kasus kekerasan perempuan, yang terbanyak adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sementara berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang 2015 tercatat sebanyak 649 kasus kekerasan anak terjadi di DKI Jakarta.
"Dengan angka yang begitu besar, tidak heran apabila darurat kekerasan anak menjadi fokus penting pemerintah," tutur Supriyadi melalui keterangan tertulisnya, Rabu (6/1/2016).
"Kami mencatat salah satu modus kekerasan seksual pada anak yang paling tidak tersentuh adalah perkawinan anak," ujarnya.
Dia menambahkan, koalisinya menilai bahwa anak perempuan yang menikah akan terikat relasi kuasa yang begitu besar dengan pasangannya, terlebih jika usia pasangannya lebih tua.
Perwakinan anak Indonesia tertinggi
Potret anak Indonesia saat ini semakin ironis lantaran Indonesia merupakan negara tertinggi kedua di Asia Tenggara dalam praktik perkawinan anak.
Sensus nasional pada 2012 menunjukkan bahwa 1 dari 5 anak perempuan Indonesia telah menikah di bawah usia 18 tahun.
Fakta ini, kata Supriyadi, juga berdampak pada angka kematian anak dan ibu dari hasil perkawinan anak.
"Atas dasar itu, Koalisi 18+ mendorong Pemerintahan Presiden Jokowi untuk segera merespon keadaan mendesak ini dengan mengeluarkan Perpu Perkawinan Anak," kata Supriyadi.
Cukup alasan untuk terbitkan Perppu
Dia juga memaparkan, bahwa urgensi pembentukkan Perppu tersebut didasarkan pada Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang menjelaskan tiga syarat objektif Presiden untuk menetapkan Perppu.
Syarat pertama yakni adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.
"Kekerasan anak sudah mencapai taraf memprihatinkan. Angka perkawinan anak juga masuk dalam kategori sama mengerikannya," imbuh Supriyadi.
Syarat kedua adalah undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum atau undang-undang yang ada tidak memadai.
"UU Perkawinan tidak lagi sesuai dengan kebutuhan hukum dan zaman," ujarnya.
Sementara itu, syarat ketiga adalah jika kekosongan hukum yang terjadi tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa karena memerlukan waktu yang lama.