Menurut Wakil Koordinator Kontras Bidang Strategi dan Mobilisasi Puri Kencana Putri, ada 41 pembebasan berpendapat yang terjadi di Jawa Barat.
Setelah Jawa Barat, ada Jawa Timur, Sumatera Utara, DKI Jakarta, kemudian Papua. (Baca: Kontras: Aparat Kepolisian Aktor Utama Pengekang Kebebasan Berekspreasi Sepanjang 2015 )
"Lima wilayah ini memiliki situasi kebebasan yang sangat mengkhawatirkan karena ternyata pejabat-pejabat politik yang terpilih melalui proses politik daerah itu belum menjamin situasi kebebasan bisa dinikmati oleh warga," ujar Puri di Kantor KontraS Jalan Kramat II, Senen, Jakarta Pusat, Sabtu (26/12/2015).
Untuk Jawa Timur, Kontras mencatat ada 35 kasus pembatasan berekspresi. Sebagian besar kasus berkaitan dengan pembatasan penyampaian opini di muka umum akibat penguasaan sepihak sumber daya alam dan aksi buruh.
Sementara itu, terjadi 28 kasus pembatasan hak berekspresi, berserikat dan berkumpul di Sumut, dan 26 kasus di Jakarta, kemudian 24 kasus di Papua.
"Untuk DKI Jakarta didominasi pembubaran paksa aksi, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang," ujar Puri.
Ia juga menyinggung Peraturan Gubernur No. 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Penyampaian Pendapat di Muka Umum yang pernah diterbitkan Pemprov DKI Jakarta.
Menurut dia, peraturan yang dikenal sebagai Pergub Ahok tersebut secara hukum telah menabrak jaminan konstitusi dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum karena hanya mengizinkan publik berunjuk rasa di tiga titik lokasi.
Dikeluarkannya peraturan tersebut, kata Puri, menunjukkan bahwa pemerintah cenderung anti-kritik dan tidak mau menerima aspirasi publik yang disampaikan lewat unjuk rasa. (Baca: Kontras Tolak Pergub Pembatasan Lokasi Unjuk Rasa di Jakarta)
"Meski telah dicabut dan diganti menjadi Pergub Nomor 232, namun semangat pembatasan hak berekspresi yang telah dijamin konstitusi dan undang-undang yang lebih tinggi derajatnya, masih sangat terasa," ucap Puri.
Sementara itu, Koordinator Kontras, Haris Azhar mengatakan, seharusnya pemerintah memuliakan warga negara sesuai dengan konsep Nawacita.
Namun, ia menilai, pemerintah seolah ingin menertibkan warganya. Warga cenderung dianggap sebagai masalah dan harus ditertibkan, termasuk dengan mengeluarkan aturan terkait demo atau unjuk rasa.
"Ini gambaran bagaimana dugaannya ke depan ruang kebebasan warga makin minim karena warga dianggap sebagai ancaman," ujar Haris.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.