JAKARTA, KOMPAS.com — Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terhadap kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden yang menyeret Ketua DPR Setya Novanto dinilai bertentangan dengan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Politisi Partai Nasdem, Akbar Faizal, menilai, MKD belum memberi kejelasan mengenai putusan, apakah Setya Novanto terbukti atau tidak terbukti melanggar kode etik.
"Menurut UU MD3, harus ada putusan melanggar atau tidak melanggar," kata Akbar saat mengajukan interupsi dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/12/2015).
"Yang kita lihat tadi malam hanya membacakan surat pengunduran diri tanpa adanya putusan," ucapnya.
Pada Rabu malam, MKD memutuskan menutup kasus dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden setelah menerima surat pengunduran diri Novanto sebagai Ketua DPR.
MKD menerima pengunduran diri itu dan menyatakan Novanto berhenti sebagai Ketua DPR terhitung 16 Desember 2015.
Hanya dua amar putusan tersebut yang dibacakan Ketua MKD Surahman Hidayat. Tak ada keputusan yang menyatakan apakah Novanto melanggar kode etik atau tidak.
Sementara itu, dalam Pasal 147 ayat (4) UU MD3, disebutkan bahwa amar putusan MKD berbunyi menyatakan teradu tidak terbukti melanggar atau menyatakan teradu terbukti melanggar.
"Kepada teman-teman, dengan putusan ambigu seperti tadi malam, saya usulkan MKD kita bekukan," kata Akbar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.