Keputusan tersebut diambil di tengah tahapan konsinyasi yang dilakukan Mahkamah Kehormatan Dewan untuk menentukan putusan kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Tepat satu bulan lalu, 16 November 2015, Menteri ESDM Sudirman Said melaporkan Novanto ke MKD.
Ia diduga telah meminta sejumlah saham kepada PT Freeport Indonesia dengan mengatasnamakan Presiden dan Wakil Presiden.
Permintaan itu disampaikan saat Novanto berbincang dengan pengusaha Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin pada 8 Juni 2015.
Dalam laporannya, Sudirman menyertakan salinan percakapan sepanjang 11 menit 38 detik berikut transkrip percakapan sebanyak tiga lembar.
Namun, rekaman dan transkrip kasus itu justru dipersoalkan.
Selain dianggap tidak utuh, para "pembela" Novanto menilai tidak ada permintaan saham yang disampaikan secara langsung Wakil Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali itu kepada Maroef.
Di tengah proses verifikasi yang dilakukan MKD, sempat muncul upaya untuk menggagalkan kelanjutan kasus tersebut.
Kedudukan hukum Sudirman Said
Legal standing Sudirman sebagai pelapor pun dipersoalkan sejumlah anggota MKD. Mereka menganggap status Sudirman yang sebagai menteri tidak masuk ke dalam salah satu ketentuan di dalam peraturan Bab IV Pasal 5 ayat (1) tentang Tata Beracara MKD, yaitu:
a. Pimpinan DPR atas aduan anggota terhadap anggota;
b. Anggota terhadap pimpinan DPR atau pimpinan AKD; dan/atau
c. Masyarakat secara perseorangan atau kelompok terhadap anggota, pimpinan DPR, atau pimpinan AKD.
MKD kemudian menghadirkan seorang ahli bahasa untuk menentukan apakah Sudirman dapat masuk ke dalam kategori pelapor sesuai ketentuan itu.
Ahli bahasa bernama Yayah Bachria kemudian menyatakan jika Sudirman dapat dikategorikan sebagai pelapor.
Upaya penggagalan lain muncul manakala Sudirman menyebut jika percakapan itu sebenarnya terjadi selama 120 menit. Namun, hal itu tidak sinkron dengan salinan rekaman yang diserahkan Sudirman ke MKD.
Sudirman pun ditantang untuk menyerahkan seluruh salinan rekaman. Pada 24 November 2015, MKD memutuskan laporan Sudirman dapat dilanjutkan ke tahap persidangan.
Sehari setelah keputusan itu, Fraksi Golkar mulai mengganti anggotanya di MKD. Tiga orang ditugaskan sebagai anggota baru, yaitu Kahar Muzakir menggantikan posisi Hardisoesilo sebagai Wakil Ketua MKD, Ridwan Bae dan Adies Kadir masuk menggantikan Dadang S Muchtar dan Budi Supriyanto.
Gebrakan pun dilakukan.
Para "pemain pengganti" itu meminta agar hasil rapat pada 24 November dianulir.
Permintaan itu disampaikan ketika MKD tengah menggelar rapat internal untuk menyusun jadwal persidangan kasus "Papa Minta Saham" itu pada 30 November 2015.
Mereka kembali mempersoalkan legal standing Sudirman dan rekaman yang dianggap diperoleh secara ilegal.
Langkah ketiga anggota itu gagal setelah dalam voting yang dilangsungkan sehari kemudian, mereka kalah telak.
Meskipun telah dibantu Sufmi Dasco Ahmad dan Supratman Andi Agtas dari Gerindra serta Zainut Tauhid dari PPP, skor terakhir voting 11:6. Mayoritas anggota MKD ingin kasus ini dilanjutkan.
Sidang dan drama "Yang Mulia"
Pada 2 Desember 2015, MKD mulai menggelar sidang dugaan pelanggaran etik Novanto. Sebagai permulaan, Sudirman diperiksa MKD sebagai pelapor.
Secara mengejutkan, Sudirman menyerahkan salinan rekaman percakapan utuh sepanjang 120 menit kepada MKD, yang diperolehnya dari Maroef.
Sempat terjadi perdebatan di antara "Yang Mulia" yang memeriksa Sudirman.
Sebagian dari mereka menganggap rekaman itu ilegal, belum terverifikasi, dan tidak perlu diputar.
Namun, sebagian besar lain menilai rekaman itu perlu diputar di muka sidang untuk membuktikan semua tuduhan yang dilayangkan Sudirman kepada Novanto.
Proses pemeriksaan Sudirman cukup panjang, mulai dari pukul 13.00 WIB hingga menjelang tengah malam.