JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua sementara Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrrachman Ruki mengatakan, Presiden Joko Widodo pernah menyurati KPK mengenai revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Surat tersebut berisi permintaan tanggapan KPK mengenai rencana revisi itu. Dalam balasannya, kata Ruki, lima pimpinan sepakat untuk menolak revisi.
"Surat ini ditandatangan berlima. Apa jawaban kami? Pertama, pada prinsipnya kami pimpinan KPK tidak setuju dengan DPR untuk revisi. Jelas kami tidak setuju," kata Ruki dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (15/12/2015).
Ruki mengatakan, pimpinan KPK menyarankan agar DPR mendahulukan revisi undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan harmonisasi dengan KUHP dan KUHAP.
Menurut Ruki, surat balasan itu telah dibahas bersama dengan pimpinan lainnya. (baca: Ruki Minta Pimpinan KPK Tidak Munafik soal Revisi UU KPK)
"Saya ingin klarifikasi berbagai tuduhan. Semua dibahas lima pimpinan dibantu tim hukum," kata Ruki.
Ruki mengatakan, pimpinan KPK sepakat revisi akan diterima jika poin-poin yang direvisi tidak melemahkan KPK.
Sementara itu, kata Ruki, draf revisi yang selama ini beredar menunjukkan upaya pelemahan itu. (Baca: Johan Budi: Revisi UU Saya Tolak, Saya Tidak Dipilih Ya Tidak Apa-apa)
"Pimpinan KPK minta pemerintah menolak melanjutkan pembahasan ke DPR jika mengarah pada revisi yang berkaitan fungsi yang melemahkan KPK," kata Ruki.
Saat ini, pemerintah dan DPR RI sepakat meneruskan revisi UU KPK dengan usulan DPR.
Revisi UU KPK awalnya disepakati masuk dalam prolegnas prioritas 2015 sebagai inisiatif pemerintah pada 23 Juni. Namun, pada 6 Oktober, 45 anggota DPR mengusulkan untuk mengambil alih inisiatif penyusunan RUU KPK.
Dalam usulannya, para anggota DPR itu menyertakan draf yang isinya dianggap melemahkan KPK. Contohnya, diatur bahwa masa kerja KPK hanya 12 tahun setelah UU diundangkan. (Baca: Ini Alasan PDI-P Batasi Umur KPK Hanya 12 Tahun)
Draf itu juga mengatur batasan bahwa KPK hanya bisa menangani kasus dengan kerugian negara minimal Rp 50 miliar.
Kewenangan penyadapan KPK juga harus dilakukan melalui izin pengadilan. Kemudian, KPK diusulkan tak lagi menyelidik dan menyidik perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.
KPK juga nantinya akan memiliki kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Terakhir, akan dibentuk juga lembaga pengawas untuk mengawasi kinerja KPK. (Baca: Rapat dengan DPR, KPK Minta Tak Lagi Dilemahkan)
Setelah rencana tersebut menuai kritik, pada 14 Oktober, pemerintah dan pimpinan DPR sepakat menunda pembahasan revisi UU KPK.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.