Oleh: Saldi Isra
JAKARTA, KOMPAS - Uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat akan menjadi penentuan masa depan lembaga anti rasuah ini.
Tidak hanya mengkhawatirkan kemauan memilih kandidat yang tepat untuk periode empat tahun mendatang, kemungkinan pelaksanaan proses uji kelayakan dan kepatutan pun masih menjadi pertanyaan besar.
Penilaian demikian muncul karena sejumlah kekuatan politik di Komisi III memperlihatkan keengganan menerima calon pimpinan (paling tidak sebagian di antara mereka) yang dihasilkan panitia seleksi (pansel). Tidak hanya itu, metode yang digunakan dalam menentukan calon yang diajukan ke Presiden (dan diteruskan ke DPR) juga memicu persoalan bagi sebagian politisi di Senayan.
Mengikuti wacana setelah calon yang dihasilkan pansel diajukan Presiden ke DPR, beberapa spekulasi hadir ke tengah masyarakat. Di antara yang mengemuka, terdapat gejala bahwa Komisi III akan mengembalikan calon pimpinan KPK kepada Presiden. Meski masih terdapat sebagian kekuatan di Komisi III yang menghendaki ujikelayakan dan kepatutan tetap diteruskan, gelombang yang menghendaki mengembalikan calon kepada Presiden jauh lebih kuat.
Selain itu, berdasarkan informasi terbatas kalangan internal DPR, semua cacatan keberatan yang mempersoalkan cara kerja pansel dan calon yang disampaikan ke DPR berujung pada satu titik: ujikelayakan dan kepatutan akan dilakukan setelah revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Bilamana informasi ini benar adanya, sangat mungkin keberatan untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan calon yang dihasilkan pansel pimpinan KPK menjadi strategi lain sebagian kekuatan politik di DPR untuk terus memaksakan revisi UU No 30/ 2002.
Wewenang Presiden
Sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 UU No 30/2002, KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Dalam konteks pembentukan KPK, penegasan posisi independen sangat terkait dengan penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang memerlukan metode luar biasa. Sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan UU No 30/2002, status independen tersebut diperlukan agar upaya memberantas korupsi bisa secara optimal, intensif, efektif, profesional, serta berkesinambungan.