JAKARTA, KOMPAS.com — Laporan terkait dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden oleh Ketua DPR RI Setya Novanto semestinya tidak dibatasi pada masalah pelanggaran kode etik. Unsur pidana dalam masalah ini juga harus diungkap.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Almas Sjafrina, menilai bahwa ada unsur dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dalam masalah tersebut.
Untuk itu, Almas meminta agar Mahkamah Kehormatan Dewan tidak membatasi penanganan masalah ini hanya pada masalah pelanggaran etik.
"MKD jangan hanya menilai dalam kacamata sempit. Novanto bukan saja melanggar kode etik, melainkan juga bisa dijerat dengan Pasal 15 UU Tipikor," kata Almas saat diskusi bertajuk "Darurat DPR" di Jakarta, Kamis (19/11/2015).
Pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dapat dipidana.
Dalam laporan yang disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said kepada MKD, disebutkan bahwa ada pembicaraan antara Setya dan pengusaha M Reza Chalid serta Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin terkait perpanjangan izin operasi Freeport di Indonesia.
Yang dipermasalahkan dalam percakapan mereka adalah adanya pencatutan nama Presiden dan Wapres soal perpanjangan kontrak itu. Pembicaraan itu juga menyangkut permintaan saham Freeport untuk Presiden dan Wapres.
(Baca: "Politisi Kuat" Minta Saham 20 Persen ke Freeport untuk Presiden dan Wapres)
Almas mengatakan, jika pembicaraan itu terbukti benar, sudah ada upaya percobaan tindak pidana korupsi di dalamnya.
"Selain itu, Novanto dapat digolongkan sebagai penyelenggara negara atau pegawai negeri, maka tidak perlu lagi mencari unsur kerugian negaranya," ujarnya.
Ia juga mendesak MKD untuk menangani masalah ini secara profesional karena hasil pengusutan masalah ini akan memengaruhi nama baik DPR. Lagi pula, bukan kali ini saja MKD menangani kasus yang melibatkan Setya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.