Selain dua syarat itu, Freeport juga masih harus memperbarui pembagian royalti dengan Indonesia dan pembangunan Papua.
"Menurut saya, Freeport harus melakukan evaluasi," kata Luhut di Gedung Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (19/11/2015).
Luhut menegaskan, dirinya telah melakukan kajian mengenai Freeport saat menjabat sebagai Kepala Staf Presiden. (Baca: Ini Butir-butir Renegosiasi Indonesia-Freeport)
Menurut Luhut, perpanjangan kontrak tidak perlu diberikan jika Freeport tidak memberi keuntungan setimpal untuk Indonesia.
Adapun proses renegosiasi bisa dilakukan pada 2019, atau dua tahun sebelum masa kontrak karya Freeport berakhir. (Baca: Rizal Ramli: Sejak Tahun 1980-an, Freeport "Hengki Pengki" dengan Pejabat Indonesia)
Ia mengakui, banyak desakan agar renegosiasi dilakukan saat ini. Namun, Luhut memastikan, pemerintah tidak akan terpengaruh oleh apa pun saat mengambil keputusan terkait Freeport.
"Dia bisa negosiasi. Kalau negosiasinya tidak menguntungkan Republik Indonesia, ngapain kita perpanjang," ungkapnya. (Baca: Soal Perpanjangan Kontrak Freeport, Ini Dilema yang Dihadapi Pemerintah)
Berdasarkan hasil kajian, kata Luhut, dirinya mengusulkan agar pengelolaan Freeport dibuat seperti blok Mahakam. Kontrak karya Mahakam tidak diperpanjang sampai berakhir pada 2017, dan pengelolaan selanjutnya dilakukan oleh sumber daya nasional.
"Sama juga nanti dengan Freeport, kalau 2021 expired kontraknya, itu menjadi milik Pemerintah Indonesia. Bisa saja nanti pemerintah menunjuk Antam jadi pemegang utama. Kemudian, bisa saja memberikan first right kepada partner-nya," pungkas Luhut.