Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Koran "Sin Po", Istilah "Indonesia", dan Publikasi Pertama "Indonesia Raya"

Kompas.com - 14/11/2015, 11:11 WIB
Bayu Galih

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, Presiden Soekarno berkata, "Kita hendak mendirikan suatu negara 'semua buat semua', bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan..."

Karena itu, dalam pidato yang disampaikan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu, Soekarno merumuskan, dasar pertama negara Indonesia adalah kebangsaan.

"Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia," ucap Soekarno dalam pidato yang dikenal sebagai "Lahirnya Pancasila".

Kebangsaan dipilih Soekarno sebagai dasar pertama dalam mendirikan Indonesia sebab perjuangan untuk merdeka dilakukan oleh banyak kelompok, termasuk etnis Tionghoa.

Bahkan, seperti ditulis Asvi Warman Adam dalam Menguak Misteri Sejarah (2010), sebuah koran yang dibuat etnis Tionghoa turut berperan dalam memopulerkan nama Indonesia.

Pelopor kata "Indonesia"

Adalah koran Sin Po yang menjadi pelopor penggunaan istilah "Indonesia".

Sin Po adalah surat kabar pertama yang menjadi pelopor penggunaan kata "Indonesia" untuk menggantikan "Nederlandsch Indie", "Hindie Nederlandsch", atau "Hindia Olanda".

Tidak hanya itu, Sin Po juga disebut sebagai penghapus penggunaan kata "inlander" yang dianggap sebagai penghinaan terhadap rakyat Indonesia.

Benny G Setiono di buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2001) menulis bahwa untuk membalas budi tersebut, semua penerbit pers Indonesia lalu mengganti kata "Cina" dengan "Tionghoa".

Para tokoh pergerakan, seperti Soekarno, M Hatta, Soetan Sjahrir, Tjipto Mangoenkoesoemo, juga disebut mengganti kata "Cina" dengan "Tionghoa" dalam percakapan dan tulisan sehari-hari.

Pro-revolusi Tiongkok

Dalam artikel "Pers Tionghoa, Sensibilitas Budaya, dan Pamali" yang ditulis Agus Sudibyo di harian Kompas (2001), Sin Po diterbitkan pada Oktober 1910 oleh kalangan muda Tionghoa di Jakarta. 

Sin Po dikenal sebagai media yang mendukung kaum revolusioner Tiongkok. Wartawan terkemuka Kwee Kek Beng merupakan pemimpin redaksi Sin Po sejak 1925 hingga 1947.

Asvi Warman Adam menulis, seorang redaktur Sin Po bernama Ang Yan Goa menjelaskan, koran yang bermula dari mingguan itu sejak awal mempunyai misi mengembangkan nasionalisme Tiongkok. Karena itu, Sin Po akrab dengan Konsulat Jenderal Tiongkok di Batavia.

Pada tahun 1936 misalnya, Ang Yan Goan diajak Konjen Tiongkok di Batavia untuk memberikan medali kehormatan kepada Susuhunan Surakarta dan Sri Sultan di Yogyakarta.

Kedua raja Jawa itu dianggap berjasa dalam melindungi toko milik warga Tionghoa dari gerombolan perusuh, saat tentara Jepang akan mendarat di Jawa.  

Publikasi pertama "Indonesia Raya"

Menurut Agus Sudibyo, sikap politik Sin Po sempat membuat koran itu terlibat polemik dengan media pribumi. Sin Po dianggap tidak punya kontribusi bagi pergerakan nasional.

Meski begitu, tidak sedikit yang mengakui kedekatan Sin Po dengan pemimpin pergerakan nasional, malahan terlibat aktif dalam pergerakan kebangsaan.

Bahkan, Sin Po dikenal sebagai media pertama yang memublikasikan syair "Indonesia Raya" gubahan Wage Rudolf Supratman.

Menurut Asvi Warman Adam, dalam buku yang ditulis Ang Yan Goan, syair "Indonesia Raya" disebut dimuat pada 1930-an.

Namun, dalam arsip yang diperlihatkan Djoko Utomo sewaktu menjabat Kepala Arsip Nasional RI, syair lagu kebangsaan itu dipublikasikan Sin Po pada terbitan 27 Oktober 1928.

Dengan demikian, ada kemungkinan "Indonesia Raya" sudah "dibocorkan" di Sin Po, sebelum diperdengarkan secara instrumentalia pada saat pengikraran Sumpah Pemuda.

WR Supratman sendiri dikenal sebagai wartawan Sin Po sejak 1925.

Karena aturan pemerintah, nama Sin Po kemudian berubah menjadi Pantjawarta pada Oktober 1958, kemudian jadi Warta Bhakti pada tahun 1960-an.

Nasib Sin Po berakhir di ambang kelahiran Orde Baru.

Karena dianggap simpatisan Partai Komunis Indonesia dan terlibat Gerakan 30 September 1965, koran yang sudah bernama Warta Bhakti itu kemudian dilarang terbit sejak 1 Oktober 1965.

Kekerasan yang terjadi pasca-G30S 1965 itu tidak hanya mematikan eksistensi Sin Po. Secara perlahan, perannya dalam pergerakan kebangsaan pun mengelupas dalam catatan sejarah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bawaslu Akui Tak Proses Laporan Pelanggaran Jokowi Bagikan Bansos dan Umpatan Prabowo

Bawaslu Akui Tak Proses Laporan Pelanggaran Jokowi Bagikan Bansos dan Umpatan Prabowo

Nasional
Soal Usulan 4 Menteri Dihadirkan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Kami 'Fine-fine' saja, tapi...

Soal Usulan 4 Menteri Dihadirkan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Kami "Fine-fine" saja, tapi...

Nasional
e-Katalog Disempurnakan LKPP, Menpan-RB Sebut Belanja Produk Dalam Negeri Jadi Indikator RB

e-Katalog Disempurnakan LKPP, Menpan-RB Sebut Belanja Produk Dalam Negeri Jadi Indikator RB

Nasional
Menteri PDI-P dan Nasdem Tak Hadiri Buka Puasa Bersama Jokowi, Menkominfo: Lagi Ada Tugas di Daerah

Menteri PDI-P dan Nasdem Tak Hadiri Buka Puasa Bersama Jokowi, Menkominfo: Lagi Ada Tugas di Daerah

Nasional
MK Buka Kans 4 Menteri Jokowi Dihadirkan dalam Sidang Sengketa Pilpres

MK Buka Kans 4 Menteri Jokowi Dihadirkan dalam Sidang Sengketa Pilpres

Nasional
Kubu Ganjar-Mahfud Minta MK Hadirkan Sri Mulyani dan Risma di Sidang Sengketa Pilpres

Kubu Ganjar-Mahfud Minta MK Hadirkan Sri Mulyani dan Risma di Sidang Sengketa Pilpres

Nasional
4 Jenderal Bagikan Takjil di Jalan, Polri: Wujud Mendekatkan Diri ke Masyarakat

4 Jenderal Bagikan Takjil di Jalan, Polri: Wujud Mendekatkan Diri ke Masyarakat

Nasional
Berkelakar, Gus Miftah: Saya Curiga Bahlil Jadi Menteri Bukan karena Prestasi, tetapi Lucu

Berkelakar, Gus Miftah: Saya Curiga Bahlil Jadi Menteri Bukan karena Prestasi, tetapi Lucu

Nasional
Dua Menteri PDI-P Tak Hadiri Bukber Bareng Jokowi, Azwar Anas Sebut Tak Terkait Politik

Dua Menteri PDI-P Tak Hadiri Bukber Bareng Jokowi, Azwar Anas Sebut Tak Terkait Politik

Nasional
Tak Cuma Demokrat, Airlangga Ungkap Banyak Kader Golkar Siap Tempati Posisi Menteri

Tak Cuma Demokrat, Airlangga Ungkap Banyak Kader Golkar Siap Tempati Posisi Menteri

Nasional
Menko Polhukam Pastikan Pengamanan Rangkaian Perayaan Paskah di Indonesia

Menko Polhukam Pastikan Pengamanan Rangkaian Perayaan Paskah di Indonesia

Nasional
Enam Menteri Jokowi, Ketua DPR, Ketua MPR, dan Kapolri Belum Lapor LHKPN

Enam Menteri Jokowi, Ketua DPR, Ketua MPR, dan Kapolri Belum Lapor LHKPN

Nasional
Soal Pengembalian Uang Rp 40 Juta ke KPK, Nasdem: Nanti Kami Cek

Soal Pengembalian Uang Rp 40 Juta ke KPK, Nasdem: Nanti Kami Cek

Nasional
Kubu Anies-Muhaimin Minta 4 Menteri Dihadirkan Dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Kubu Anies-Muhaimin Minta 4 Menteri Dihadirkan Dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Selain Menteri PDI-P, Menteri dari Nasdem dan 2 Menteri PKB Tak Ikut Buka Puasa Bersama Jokowi

Selain Menteri PDI-P, Menteri dari Nasdem dan 2 Menteri PKB Tak Ikut Buka Puasa Bersama Jokowi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com