JAKARTA, KOMPAS.com — Penyelenggaraan International People's Tribunal atau Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag, Belanda, menuai polemik di Tanah Air.
Steering committee IPT Jakarta, Dolorosa Sinaga, pun menjelaskan alasan mengapa pengadilan mengenai hal yang sangat sensitif tersebut tidak digelar di Indonesia.
"Korban peristiwa 1965 tidak pernah dapat jalan pengungkapan kebenaran. Selama 50 tahun terjadi pembungkaman, di mana kita bisa mengartikan ini bahwa pemerintah tidak punya good will, tanggung jawab, untuk selesaikan masalah ini?" ujar Dolorosa di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (13/11/2015).
Menurut dia, atas alasan tersebut, para aktivis HAM merasa bahwa informasi soal ini diperlukan untuk diketahui dunia internasional.
Alasan lainnya, Den Haag merupakan kota simbol keadilan dan perdamaian internasional.
Lembaga-lembaga, seperti International Court of Justice (Mahkamah Pidana Internasional), dan sejumlah pengadilan khusus, seperti Tribunal Yugoslavia, juga diselenggarakan di kota tersebut.
Selain itu, Tribunal Tokyo, atau pengadilan perempuan internasional atas kejahatan perang tentang perbudakan seksual militer Jepang, juga menyelenggarakan sidang putusannya di Den Haag pada 2001.
"Kenapa di Belanda? Ini karena Belanda sebagai kota presentasi keadilan, karena PBB memerintahkan Den Haag menjadi tempat memproses kasus-kasus pelanggaran HAM," kata Ketua YLBHI Alvon Kurnia Palma saat menjadi pembicara dalam forum yang sama.
Pengadilan Rakyat Internasional mulai digelar pada 10 November 2015. Pengadilan ini dibentuk oleh masyarakat sipil dan aktivis yang peduli terhadap HAM.
Mereka menilai, negara bertanggung jawab atas pembunuhan massal, penculikan, penganiayaan, kekerasan seksual, dan campur tangan negara lain pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.