JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso menganggap Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) yang digelar di Den Haag, Belanda, sebagai bentuk berdemokrasi.
Sutiyoso mengajak agar Indonesia tidak perlu bersikap berlebihan soal digelarnya pengadilan itu.
"Itu pun kita tidak mengakui, saya kira pemerintah Belanda juga," ujar Sutiyoso, saat ditemui di Ancol, Jakarta Utara, Kamis (12/11/2015).
"Di alam demokrasi seperti ini, membiarkan saja bukan berarti memihak ke mereka. Jadi kita tidak perlu bersikap berlebihan dengan menanggapi soal di sana," ujarnya.
BIN sendiri, menurut Sutiyoso, sejak awal telah mengetahui siapa penggagas dibentuknya pengadilan yang mengadili kasus pelanggaran hak asasi manusia tahun 1965 di Indonesia.
Namun, Pemerintah Indonesia tidak dapat melarang atau mencegah hal itu dilakukan. Menurut Sutiyoso, berbagai putusan yang dikeluarkan pengadilan tersebut juga bukan keharusan untuk diikuti.
Pertimbangan soal tragedi 1965 hanya dapat dipahami oleh pihak internal.
Sutiyoso optimis bahwa Indonesia tidak akan dikecam jika tidak mengikuti putusan Pengadilan Rakyat Internasional.
Menurut dia, publik internasional akan memahami hal tersebut. Apalagi, bukan Indonesia saja yang dituduh melanggar HAM di masa lalu.
"Banyak negara lain, seperti peristiwa di Vietnam, di Afganistan, peristiwa zaman dulu, saat Belanda kepada kita juga banyak kalau mau diungkap," kata Sutiyoso.
Menurut Sutiyoso, pemerintah telah sepakat dengan mekanisme rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
"Melalui rekonsiliasi, itu saja lah pegangannya. Sudah, masa lalu itu sudah kita tutup saja," kata mantan Pandam Jaya tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.