JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Muhammad Ananto Setiawan, menilai penegakan hukum yang dilakukan terkait kasus tambang pasir ilegal di Lumajang cenderung tidak serius.
Padahal, kegiatan tambang ilegal itu telah menewaskan aktivis petani, Salim Kancil.
Tidak hanya itu, Ananto juga menilai perlindungan terhadap saksi kasus Salim Kancil tersebut kurang optimal.
"Tidak hanya polisi yang gagal dalam memberikan perlindungan hak dan saksi, tapi juga ada LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) yang tidak berhasil mengimplementasikan amanat undang-undang," kata Ananto di Jakarta, Senin (9/11/2015).
Undang-undang yang dimaksud, menurut Ananto, adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Bahkan, Ananto menuturkan, rekan Salim Kancil yang juga menjadi korban intimidasi, yaitu Tosan, bersama rekan-rekannya sempat berkeinginan pergi ke Jakarta pada Jumat (30/10/2015) lalu untuk melakukan advokasi. Namun, rencana itu ditolak LPSK.
"Alasannya LPSK tidak bisa menjamin keselamatan aktivis-aktivis anti tambang tersebut kalau mereka melakukan upaya-upaya advokasi di Jakarta," tutur Ananto.
Menurut dia, bukanlah kewenangan LPSK untuk memberikan izin atau tidak bagi orang-orang yang ingin memperjuangkan haknya dan lingkungannya.
Pasca-pelarangan tersebut, Ananto melanjutkan, pada keesokan harinya (31/10/2015), terjadi peristiwa perusakan rumah aktivis antitambang, Abdul Hamid. Ini berlanjut dengan ancaman terhadap tiga jurnalis pada Kamis (5/11/2015).
Ananto memandang perlu adanya undang-undang perlindungan terhadap pembela hak asasi manusia, termasuk aktivis antitambang.
"Kami melihat di sini ada karut marut dalam upaya perlindungan," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.