Penuntasan kasus pelanggaran berat HAM jadi salah satu janji yang diumbar Jokowi pada kampanye Pemilihan Presiden 2014. Solusi yang ditawarkan adalah rekonsiliasi dengan korban pelanggaran berat HAM masa lalu.
Jaksa Agung H.M Prasetyo mengatakan, pemerintah berupaya mewujudkan proses rekonsiliasi pelanggaran berat HAM melalui tiga tahap. Tahapan dimulai dengan pengakuan bahwa telah terjadi pelanggaran berat HAM, dibuatnya kesepakatan antara pemerintah dengan korban bahwa kasus serupa tidak akan terulang, dan permintaan maaf dari pemerintah.
Awal Oktober 2016, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, mengungkapkan, wacana rekonsiliasi itu kini masih terus digodok. Sejumlah pakar hukum dan tata negara dilibatkan dalam diskusi.
Tujuan rekonsiliasi adalah untuk menuntaskan kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu. Pemerintah tidak ingin kasus Talangsari, Wasior, Wamena, penembak misterius atau petrus, G30S PKI, kerusuhan Mei 1998, dan penghilangan orang secara paksa menjadi "warisan" masalah pada setiap periode pemerintahan.
"Kita lupakan yang lalu dan tetap catat sebagai sejarah kelam," kata
"Kunci" ada pada Jaksa Agung
Beberapa waktu lalu, komisioner Komnas HAM periode 2007-2012, Ahmad Baso, mengatakan, Jaksa Agung merupakan tokoh kunci penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Pasalnya, wewenang Komnas HAM menangani kasus pelanggaran HAM dibatasi oleh Undang-Undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Dalam undang-undang itu diatur mengenai penyelidikan kasus pelanggaran HAM dapat ditingkatkan menjadi penyidikan hanya dengan rekomendasi Jaksa Agung.
Menurut Ahmad, selama ini Jaksa Agung selalu menyikapi kasus pelanggaran berat HAM secara politis. Buktinya, tidak ada rekomendasi Komnas HAM yang ditindaklanjuti.
Berdasarkan pengalaman, Ahmad menganggap Jaksa Agung selalu menolak rekomendasi dengan alasan tim penyelidik Komnas HAM tidak pernah disumpah dalam menjalankan tugasnya. Kewenangan Komnas HAM semakin dipersempit. Usaha pencarian bukti forensik hanya dapat dilakukan seizin Jaksa Agung.
"Berkas pelanggaran HAM menumpuk di lemarinya Jaksa Agung. Rekomendasi kita dipermainkan, Jaksa menggunakan bahasa KUHAP soal bukti dan macam-macam," ujar Ahmad.
Ia berharap, pemerintah lebih bijak dalam menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM. Jika pilihannya di luar jalur hukum, maka korban harus diberikan kompensasi yang setimpal.
Tak ada prestasi
Menurut Direktur Eksekutif Setara Institute Hendardi, tidak ada prestasi Jokowi dalam bidang HAM kecuali menerbitkan Perpres Nomor 75/2005 tentang RANHAM 2015-2019. Hendardi menilai kualitas perpres tersebut sangat buruk dan lebih mirip program kerja lembaga kajian dibanding sebagai rencana pemerintah.
Ia menganggap wacana rekonsiliasi adalah usulan keliru jika melangkahi proses penyidikan. Rekonsiliasi adalah jalan terakhir setelah penyidikan dilakukan.
Hendardi mengungkapkan, Komnas HAM telah banyak memberi rekomendasi hasil penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM kepada Jaksa Agung. Akan tetapi, rekomendasi itu selalu dimentahkan oleh kejaksaan dengan alasan sulit menemukan bukti dan saksi.
Jalan lain ditempuh Hendardi dengan memberikan masukan kepada Presiden Joko Widodo melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Tujuannya agar wacana rekonsiliasi itu ditunda sampai ada hasil penyidikan.
"Hanya bikin gaduh, ide rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran," kata Hendardi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.