Revisi UU KPK juga disebut tak terpisahkan dari peristiwa kriminalisasi terhadap dua komisioner KPK dan para pendukungnya, penerbitan Perppu pengangkatan pelaksana tugas pimpinan KPK dan rentetan kejadian-kejadian lainnya.
"Materi muatan Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan UU KPK kental dengan nuansa pelemahan dan bahkan dapat berujung pada pembubaran KPK," tutur Peneliti PSHK Miko Ginting melalui siaran pers yang diterima Kompas.com, Minggu (11/10/2015).
Miko menambahkan, jika RUU tersebut disahkan maka KPK tidak lagi memiliki wewenang dalam mengangkat penyidik secara mandiri, melakukan penuntutan serta harus menyerahkan kasus yang ditangani kepada Kepolisian dan Kejaksaan apabila nilai kerugiannya di bawah Rp 50 miliar.
KPK juga harus dibubarkan dalam waktu 12 tahun ke depan jika RUU tersebut disahkan. Revisi UU KPK, menurut Miko, kembali menjadi momen pembuktian sikap Presiden Joko Widodo setelah sebelumnya tak menunjukkan sikap dan keberpihakan yang jelas saat beberapa kali terdapat upaya pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Secara hukum, Presiden dapat menolak pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi dengan tidak menerbitkan Surat Presiden (Surpres) untuk melakukan pembahasan revisi UU KPK," ujar Miko.
Pernyataan tersebut mengacu kepada Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Serta Pasal 49 dan Pasal 50 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan pembahasan suatu RUU dapat dilakukan ketika Presiden menerbitkan Surpres.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.