Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Larang Penderita Gangguan Jiwa Memilih, UU Pilkada Dianggap Diskriminatif

Kompas.com - 02/10/2015, 04:33 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Proses pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak pada Desember mendatang, memunculkan aturan baru dalam proses pendaftaran pemilih. Ketentuan tersebut tercantum dalam pasal 57 ayat (3) huruf a di Undang-Undang Pilkada, yang mengatakan bahwa seseorang yang dapat didaftar sebagai pemilih adalah seorang yang sedang tidak terganggu jiwa atau ingatannya.

Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode), Ari Prima Haikal mengatakan, ketentuan tersebut diskriminatif dan berpotensi menghilangkan hak politik warga negara.

"Kenapa hak pilih mereka dihilangkan dan dibedakan dengan orang yang tidak menderita gangguan jiwa atau ingatan?" ucap Haikal dalam acara diskusi di Kantor LBH Jakarta, Kamis (1/10/2015).

Padahal, ketentuan tersebut tidak muncul pada pemilu sebelumnya, yaitu Pemilu 2009 dan Pemilu 2014. Bahkan, Haikal menambahkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu pernah membuat tempat pemungutan suara (TPS) di sejumlah Rumah Sakit Jiwa di Indonesia.

Dalam kesempatan yang sama, psikiater dr Irmansyah Sp Kj menegaskan bahwa gangguan jiwa bersifat tidak permanen dan fluktuatif. Sehingga, tidak beralasan jika pengidap gangguan jiwa dilarang memilih, karena mereka masih mampu membedakan yang baik dan buruk, termasuk penderita gangguan jiwa yang berat sekalipun.

Menurut Irmansyah, penderita gangguan jiwa sama seperti penderita penyakit fisik lain. Ada saat-saat kondisi mereka baik dan ada pula saat mereka membutuhkan perawatan khusus. Ia menilai pasal tersebut tidak beralsan jika dilihat dari aspek klinis.

"Ini pasal yang tidak perlu ada.  Tidak perlu dikhususkan bahwa penderita gangguan jiwa tidak bisa didaftar," ujar Irmansyah.

Merasa pasal tersebut cacat hukum, Ketua Perhimounan Jiwa Sehat Yeni Rosa Damayanti mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Sebab, pasal itu dianggap mendiskriminasi hak-hak penyandang disabilitas, dalam hal ini pengidap gangguan jiwa.

Menurut dia, pengidap gangguan jiwa, termasuk gangguan jiwa berat seperti skizofrenia, tak berbeda dari orang lain. Selalu ada stigma dan asumsi di masyarakat kalau penderita gangguan jiwa tidak bisa memilih. Padahal, dengan bantuan obat-obatan dan dukungan sosial masyarakat, mereka dapat menjalani hidup seperti orang pada umumnya.

"Undang-undang itu (juga) tidak menyebutkan kalau orang yang koma di ICU tidak bisa memilih. Karena orang gangguan jiwa yang sedang dalam posisi gaduh gelisah, itu kan kondisi sementara. Tidak lama. Jadi sesudah itu ya dia biasa lagi," ujar Yeni.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Nasional
Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Nasional
KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

Nasional
Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Nasional
Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Nasional
Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Nasional
Pakar Hukum Dorong Percepatan 'Recovery Asset' dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Pakar Hukum Dorong Percepatan "Recovery Asset" dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Nasional
Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Nasional
Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com