Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Tujuh Gubernur yang Dituduh Terlibat Gerakan PKI Dibukukan

Kompas.com - 01/10/2015, 12:25 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur Bali saat itu, Anak Agung Bagus Sutedja dianggap meninggal dunia setelah dijemput empat pria berseragam lengkap Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat dari kediamannya di Kompleks Senayan, Jakarta, pada 29 Juli 1966.

Keluarga Besar Puri Negara Djembrana dari Kabupaten Djembrana Bali menyebut Anak Agung Bagus Sutedja meninggal dunia sebagai korban konspirasi penculikan politik. Empat pria berseragam TNI-AD itu datang menjemput Gubernur Bagus Sutedja dengan bersikap sangat hormat.

Mereka berdalih menjemput sang gubernur, yang ketika itu berusia 43 tahun, untuk berkoordinasi dengan Kapten (Inf) Teddy di Markas Komando Staf Garnizu, Medan Merdeka Jakarta.

Pihak keluarga tak menaruh curiga. Bagus Sutedja bahkan sempat berpamitan dengan istri dan anak-anaknya sebelum pergi. Namun setelah itu, nasib Bagus Sutedja tak pernah diketahui lagi.

Selama tiga dasawarsa, Keluarga Besar Puri Agung Negara Djembrana terpaksa menanggung stigma terlibat gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI). (baca: Jokowi Yakin Pemberontakan seperti PKI Tak Akan Terjadi Lagi)

Sepenggal kisah mengenai Gubernur Bagus Sutedja ini merupakan cuplikan dari buku berjudul "Nasib Para Soekarnois : Kisah Penculikan Gubernur Bali, Sutedja 1966".

Buku yang ditulis wartawan senior Harian Sore Sinar Harapan, Aju, tersebut mencoba menceritakan kisah para gubernur yang dituduh terlibat PKI.

Selain Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja, buku ini juga menceritakan kisah enam kepala daerah lainnya. Keenam gubernur tersebut adalah Gubernur Sumatera Utara Brigjen TNI Oeloeng Sitepu, Gubernur Sumatera Selatan Pagar Alam, Gubernur Kalimantan Tengah Tjilik Riwut, Gubernur Jakarta Henk Ngantung, Gubernur Kalimantan Barat Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, serta Gubernur Jawa Tengah Mochtar.

"Gubernur Soekarnois ini kemudian melalui berbagai cara dituduh sepihak terlibat PKI," kata Aju dalam peluncuran bukunya di Jakarta, Kamis (1/10/2015).

Aju menyebut, para gubernur tersebut adalah pendukung setia Presiden RI pertama, Soekarno. Menurut Aju, penculikan terhadap gubernur dan pembunuhan massal terhadap pihak yang dituduh anggota PKI pada 1965 sedianya menjadi pelajaran bagi generasi penerus bangsa. Gerakan G30 SPKI membawa banyak implikasi dalam sejarah bangsa Indonesia. (baca: Jokowi Undang Tiga Prajurit Pengangkat Jenazah Pahlawan Revolusi ke Istana)

Aju juga mengatakan bahwa Indonesia bisa kuat, hebat, dan disegani negara lain jika terus menjaga kebersamaan dan memperkokoh kemajemukan. Namun, menurut dia, nilai-nilai kebersamaan ini diperlemah setelah Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen.

"Yang paling membahayakan, Pancasila kita kehilangan arah melalui amandemen UUD terakhir pada 2002. Itu kita liberalis sekali. Perlu ada gerakan moral kembali ke ideologi sosialis Pancasila. Soekarno memang tidak bisa berkolaborasi dengan liberalis Amerika, tetapi Soekarno juga bukan PKI," kata dia.

Dalam acara peluncuran buku ini, hadir pula AAGAB Sutedja yang merupakan anak dari Gubernur Bali Sutedja. Kepada hadirin, Sutedja menegaskan bahwa ayahnya bukan PKI. Ia mengatakan bahwa Soekarno pun ketika itu telah menyatakan bahwa Gubernur Sutedja bukan anggota PKI.

"Beliau (Gubernur Sutedja) diantar ke ruangan kerja Soekarno yang di situ sudah ada Soeharto. Terjadilah penegasan dan Pak Soekarno mengatakan saya haqul yakin, kamu tidak tahu G30S, kamu tidak terlibat, kamu tetap Gubernur Bali," kata anak Sutedja menirukan pernyataan Soekarno kepada ayahnya ketika itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polri Terbitkan Red Notice 2 Buron TPPO Bermodus Magang ke Jerman

Polri Terbitkan Red Notice 2 Buron TPPO Bermodus Magang ke Jerman

Nasional
Surya Paloh Bakal Temui Prabowo di Kertanegara, Nasdem: Menguatkan Sinyal Komunikasi

Surya Paloh Bakal Temui Prabowo di Kertanegara, Nasdem: Menguatkan Sinyal Komunikasi

Nasional
Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Nasional
Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Nasional
Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Nasional
Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Nasional
Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Nasional
Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Nasional
Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Nasional
Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Nasional
Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nasional
JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

Nasional
Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Nasional
Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Nasional
DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com