JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi II DPR Yandri Susanto menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengizinkan adanya pemilihan calon kepala daerah dengan calon tunggal dengan memilih kolom setuju dan tidak setuju. Yandri khawatir, putusan ini akan dimanfaatkan oleh calon kepala daerah untuk memborong partai politik sehingga dapat maju sendirian dalam pilkada di suatu daerah.
"Ini akan membunuh proses demokrasi yg sedang kita bangun. Nanti saya khawatir calon tunggal itu dijadikan modus orang untuk tidak bertarung. Jadi orang lebih baik borong partai, kemudian calon tunggal yang lain enggak usah maju," kata Yandri saat dihubungi, Selasa (12/9/2015).
Menurut Yandri, cara memborong partai itu akan lebih efektif dibandingkan jika kepala daerah bertarung secara terbuka melawan calon lainnya. Calon kepala daerah tak perlu lagi mengeluarkan tenaga hingga uang untuk bertarung.
"Daripada buang-buang tenaga dan uang, itu bisa jadi modus. Demokrasi tidak akan berkembang," ucap Ketua DPP Partai Amanat Nasional ini.
Kendati demikian, Yandri mengaku tetap menghormati putusan MK ini. Apalagi sifatnya final dan mengikat. Selanjutnya, Komisi II dan KPU akan merumuskan ulang Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah untuk mengaturnya.
Kemudian, tinggal bagaimana parpol berlomba-lomba untuk mengusung calon dan jangan mau diborong oleh satu calon saja.
"Kita uji apakah MK benar-benar ingin membangun demokrasi yaang kuat dan ujungnya melahirkan pimpinan daerah yang bermartabat, mari lah kita uji. Waktu yang akan menjawab," ucapnya.
Mahkamah Konstitusi sebelumnya menetapkan norma baru dalam mekanisme pemilihan kepala daerah dengan satu pasangan calon (calon tunggal). MK mengatur bahwa pemilihan calon tunggal dilakukan menggunakan kolom "setuju" dan "tidak setuju".
Sebelumnya, pemohon dalam uji materi ini, yaitu pakar komunikasi politik Effendi Gazali, meminta agar MK memberikan mekanisme baru dalam pemilihan kepala daerah bagi calon tunggal. Ia meminta agar dalam putusannya, MK mengatur bahwa pemilihan calon tunggal menggunakan kotak kosong dalam surat suara. Sementara itu, majelis hakim MK tidak sependapat dengan mekanisme bumbung kosong yang diajukan pemohon.
"Sebab pemilihan satu paslon seharusnya upaya terakhir setelah pencalonan dilakukan dengan sungguh-sungguh," ujar Hakim Suhartoyo, dalam sidang putusan, di Gedung MK, Jakarta siang tadi.
Suhartoyo mengatakan, pemilihan melalui kolom "setuju" dan "tidak setuju" bertujuan memberikan hak masyarakat untuk memilih calon kepala daerahnya sendiri. Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam demokrasi, masyarakat diberikan hak untuk mengikuti pemilihan, termasuk untuk memilih menunda pemilihan.
Menurut Suhartoyo, apabila yang memilih kolom "setuju" lebih banyak, maka calon tunggal itu ditetapkan sebagai kepala daerah. Tetapi, jika lebih banyak yang memilih "tidak setuju", maka pelaksanaan pilkada di daerah tersebut akan ditunda hingga pilkada pada periode selanjutnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.