Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Asap, Wapres Nyatakan Indonesia Tak Perlu Minta Maaf ke Negara Tetangga

Kompas.com - 25/09/2015, 12:39 WIB
Suhartono

Penulis

NEW YORK, KOMPAS - Wakil Presiden Jusuf Kalla kembali menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu meminta maaf soal asap dari hutan di Sumatera dan Kalimantan yang dianggap mengganggu lingkungan di beberapa negara tetangga. Yang perlu dilakukan Indonesia adalah menangani dan mengatasinya agar kebakaran hutan yang menyebabkan polusi asap tidak terjadi kembali.

"Coba berapa lama mereka (negara-negara tetangga) menikmati udara yang segar dari lingkungan yang hijau dan hutan-hutan kita saat tidak terjadi kebakaran? Bisa berbulan-bulan. Apa mereka berterima kasih? Tetapi, waktu terjadi kabakaran hutan, paling lama sebulan, asap-asap itu mengotori wilayah mereka. Jadi, mengapa mesti meminta maaf," ujar Wapres Kalla saat berdialog dengan warga negara Indonesia di sekitar New York, AS, saat bertemu di Konsulat Jenderal RI di New York, AS, Kamis (24/9/2015).

Wapres menyatakan, salah satu penyebab kebakaran hutan adalah adanya kebutuhan dari sejumlah perusahaan-perusahaan asal negara-negara tetangga tersebut. Perusahaan asing itu ikut menebang dan membakar hutan dengan memanfaatkan warga sekitar yang mereka minta membuka lahan untuk perkebunan atau usaha mereka.

Pernyataan ini bukan pertama kali disampaikan oleh Kalla. Dalam catatan Kompas, Kalla pernah menyatakan hal yang sama saat terjadi kabut asap pada 2005-2007. Ketika itu Kalla menjadi wapres mendampingi presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono. Pernyataan serupa juga diutarakannya kepada wartawan setelah ia menemui Wakil Perdana Menteri Malaysia Ahmad Zahid Hamidi di Kantor Wapres, Jumat (18/9/2015). (Baca Wapres Minta Negara Tetangga Pahami Upaya Indonesia dalam Masalah Asap)

Menurut Wapres, kebakaran dan kerusakan hutan awalnya juga disebabkan oleh masuknya orang-orang asing yang membutuhkan lahan pada tahun 1960-1970. Mereka kemudian bekerja sama dengan pengusaha Indonesia.

"Mereka yang mengajari kita berusaha untuk merusak hutan. Akibatnya, dengan dalih pembangunan, hutan-hutan kita ditebangi. Lahan-lahan gambut kita dibuka. Lahan gambut yang basah dan banyak mengandung air jadi kering sehingga mudah terbakar," kata Kalla seraya menyebut beberapa perusahaan asing tersebut.

Kalla mengatakan, selain mencegah terjadinya kebakaran hutan lagi, pemerintah juga mengeluarkan larangan penebangan dan moratorium atas perizinan penggunaan lahan, termasuk pembukaan lahan-lahan perkebunan baru.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

Prabowo: Saya dan Gibran Manusia Biasa, Kami Butuh Bantuan dan Nasihat

Nasional
Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

Diminta Kubu Anies Jadi Saksi Sengketa Pilpres 2024, Airlangga Tunggu Undangan MK

Nasional
Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Nasional
Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Nasional
Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Nasional
Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Nasional
Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Nasional
KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

Nasional
Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Nasional
Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Nasional
Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Nasional
Pakar Hukum Dorong Percepatan 'Recovery Asset' dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Pakar Hukum Dorong Percepatan "Recovery Asset" dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Nasional
Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Nasional
Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com