"Ketujuh desa tersebut adalah Brebes, Bulakamba, Larangan, Cikeusal Kidul, Cikeusal Lor, Buara, dan Baros," ungkap Bahrul kepada Kompas.com, Selasa (18/8/2015).
Sebelumnya, kata Bahrul, kekeringan hanya terjadi di empat desa yakni Limbangan Kulon, Sengon, Limbangan, dan Ketanggungan.
Kekeringan tersebut berpotensi menggagalkan panen lebih dari 20.000 hektar lahan pertanian tanaman padi.
"Kekeringan sekarang lebih panjang. Hingga hari ini hujan tidak kunjung turun. Ini menyulitkan para petani," tambah Bahrul.
Dia menyebut, akibat kekeringan, banyak petani yang kemudian beralih profesi menjadi kuli bangunan, buruh pabrik, tukang becak, dan bekerja menggarap sawah tanaman padi di wilayah Jatiwangi.
Pilihan terakhir itu yang paling diminati oleh para petani yang tetap bertahan menggarap sawah tanaman padi. Pasalnya, kekeringan di wilayah kecamatan di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, tersebut tidak separah wilayah Kabupaten Brebes.
Meskipun debit air Bendung Rentang mulai menyusut dengan tinggi muka air sudah berada pada posisi 22,21 seiring dengan semakin berkurangnya curah hujan, namun kondisi sejumlah areal persawahan masih normal.
"Selain itu, alasan lainnya adalah karena tingkat pendidikan rendah. Petani Brebes rerata hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD). Itu pun banyak yang tidak sampai tamat," tandas Bahrul.
Pengadaan air mandiri
Terhadap kekeringan yang meluas tersebut, Pemerintah Kabupaten Brebes telah melakukan berbagai upaya. Di antaranya penyediaan air bersih melalui sumur gali baru, dan dropping air tangki di beberapa wilayah dengan tingkat kekeringan tinggi, dan kritis air.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Brebes, A Satibi, mengatakan pihaknya juga telah bekerjasama dengan sektor swasta dan BUMD lainnya untuk menyediakan air bersih.
"Beberapa waktu lalu, kami bekerjasama dengan PT Pegadaian menyediakan 272 air tangki. Demikian juga dengan Kwarcab Pramuka, dan Kantor BPN Kabupaten Brebes," urai Satibi.
Tak hanya sampai di situ, lanjut Satibi, upaya lainnya adalah mengembangkan sistem penyediaan air minum (SPAM) mandiri. Pengembangan tersebut memanfaatkan air sungai yang ada di wilayah dengan tingkat kekeringan tinggi, dan kritis air.
Dengan SPAM diharapkan mampu mengurangi ketergantungan terhadap perusahaan daerah air minum (PDAM). Program tersebut juga sebagai salah satu upaya menciptakan sumber air bersih baru.