JAKARTA, KOMPAS.com — Anggota Komisi III DPR, Nasir Jamil, mengkritik langkah pemerintah yang mengajukan kembali pasal mengenai larangan penghinaan terhadap presiden. Pasal tersebut sebelumnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006, tetapi kembali diusulkan pemerintah ke DPR melalui Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
"Presiden Jokowi seperti anti-kritik. Malulah dengan Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono)," kata Nasir saat dihubungi, Rabu (4/8/2015).
Nasir menjelaskan, seorang pemimpin, apalagi seorang presiden, harus siap menerima kritik hingga hinaan. Sebab, hal tersebut merupakan sebuah risiko yang harus dihadapi. Jika tidak siap menerima berbagai kritikan, lebih baik Jokowi mundur dari jabatannya. (Baca: Kontras: Sudah Tidak Zamannya Ada Pasal Penghinaan Presiden)
"Seorang kepala negara harus siap mengorbankan dirinya sebagai kepala negara. Mati pun harusnya dia siap, apalagi dihina," ucap Nasir.
Namun, Nasir meyakini, bukan Presiden Jokowi yang menginginkan pasal ini dihidupkan kembali. Nasir mencurigai, diusulkannya pasal ini merupakan inisiatif beberapa orang untuk "mencari muka" kepada Jokowi.
"Lewat pasal ini mereka mungkin mau minta kompensasi," ucap Nasir.
Jokowi sebelumnya menganggap pasal penghinaan presiden perlu ada dalam KUHP untuk memproteksi masyarakat yang bersikap kritis sehingga tidak terjerat pada pasal-pasal "karet" yang berujung pidana. (Baca: Jokowi Anggap Pasal Penghinaan Presiden untuk Proteksi Rakyat yang Kritis)
Karena itu, pemerintah menambahkan kalimat yang dianggap bisa memberikan proteksi itu. (Baca: Jokowi: Saya Diejek, Dicemooh, Dicaci Sudah Makanan Sehari-hari)