Sebelumnya, pada 2006, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pasal yang mengatur tentang penghinaan presiden.
"Tidak penting ada pasal penghinaan presiden untuk dicantumkan di rancangan KUHP. Sudah sepatutnya ditarik karena sudah tidak zamannya lagi," kata Haris, di Jakarta, Selasa (4/8/2015).
Menurut Haris, mengkritik presiden merupakan bagian dari demokrasi. Oleh karena itu, sarana-sarananya harus diciptakan. (Baca: Jokowi Anggap Pasal Penghinaan Presiden untuk Proteksi Rakyat yang Kritis)
"Kritikan yang muncul di media terhadap seorang presiden atau wakil presiden punya implikasi masuk ke ranah lain, bukan media saja," ujar Haris.
Ia juga mempertanyakan mengapa pemerintah, terutama Presiden, mencantumkan pasal tersebut dalam draf revisi KUHP.
"Saya tidak mengerti kenapa pemerintah masih mau mencantumkan pasal tersebut, atau jangan-jangan Presiden tidak baca lagi ketika menandatangani surat pengantar ke DPR untuk dibahas, apa kebablasan lagi, atau memang dia setuju," kata dia.
"Karena implikasinya cukup besar terhadap demokrasi di Indonesia," tambah Haris.
Haris berpendapat bahwa definisi penghinaan tidak jelas sehingga nantinya bisa menimbulkan masalah dalam penafsiran.
"Belajar pengalaman yang ada, definisi penghinaan itu enggak jelas. Jangan sampai nanti pasal penghinaan kepada presiden nanti muncul lagi, lalu diberlakukan oleh para penegak hukum, yang tafsirnya bisa macam-macam dari Aceh sampai Papua," papar Haris.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.